Kebebasan Terbalik dan Kemuliaan Tertinggi
5/28/2017
Sebagian orang menganggap bahwa ide tentang kebebasan hanya akan membawa malapetaka. Kebebasan dianggap bebas semau-maunya, bebas melakukan apa saja, bebas menuruti hawa nafsu dan bebas berkegiatan tercela lainnya. Kebebasan lalu disamakan dengan dosa dan barbarisme.
Padahal, kebebasan jelas bukan sedangkal itu. Kebebasan yang saya maknai adalah kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri surplus tanggung jawab. Kebebasan yang ditujukan untuk sebuah kemuliaan yg lebih tinggi.
Dulu sekali, ketika sekolah, banyak kawan yang menawari saya rokok. Tentu sebagai makhluk yg berpikir, saya punya pilihan untuk mengisap rokok tersebut. Dan apabila aktivitas merokok merupakan artikulasi dari sebuah kebebasan, maka dalam definisi itu saya telah bebas sepenuhnya. Itu karena saya tak akan lagi peduli apa kata guru, apa kata orang tua, apa kata agama dan apa kata kesehatan. Satu-satunya yg saya dengar adalah hawa nafsu saya sendiri. Tapi pertanyaannya adalah; benarkah saya benar-benar telah bebas?
Begini, sebelumnya kita sama-sama tahu bahwa rokok mengandung zak adiktif yg membuat orang jadi kecanduan. Aktivitas merokok sebetulnya tak lebih dari efek samping zat tersebut. Ada determinasi kimiawi yg kita anggap sebagai sebuah kebebasan. Tidak hanya itu, determinasi ini kian dilanggengkan oleh kawan seperkumpulan dan hawa nafsu pribadi. Jadi, merokok sebetulnya sama sekali tidak membuat kita bebas.
Sampai di sini, saya ingin menawarkan satu perspektif baru. Bahwa apabila kebebasan kerap dimaknai sebagai bebas melakukan sesuatu, bagaimana bila kebebasan itu justru kita maknai secara terbalik, yakni sebagai bebas untuk tidak melakukan sesuatu, bebas untuk tidak menuruti hawa nafsu dan bebas untuk tidak berkegiatan tercela. Hanya dengan cara ini kita dapat merefleksikan tindakan kita dan mendengarkan suara hati yg jernih untuk artikulasi kebebasan yg bermutu.
Oleh karena itu, saya yg memilih tak merokok bukan berarti saya tidak bebas, melainkan sepenuhnya bebas karena mampu menolak dan tidak melakukan sesuatu. Dengan tolok ukurnya adalah kemuliaan tertinggi yang sifatnya bisa sangat universal.
Cara pandang seperti ini yang bisa kita terapkan di bulan Ramadan. Satu-satunya alasan akan knapa kita sebulan ini tidak makan dan minum seharian adalah bukan karena kebebasan kita dirampas. Namun justru kebebasan yg kita terima teramat besar, hingga nyaris tak terasa sama sekali. Tentu kita bisa saja makan dan minum di siang hari, tetapi bukankah mampu menolak dan tidak melakukan sesuatu itu lebih utama? Sebab negasi adalah awal mula dari penalaran.
Mari merayakan kebebasan dengan pahala dan kemuliaan 😃
Padahal, kebebasan jelas bukan sedangkal itu. Kebebasan yang saya maknai adalah kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri surplus tanggung jawab. Kebebasan yang ditujukan untuk sebuah kemuliaan yg lebih tinggi.
Dulu sekali, ketika sekolah, banyak kawan yang menawari saya rokok. Tentu sebagai makhluk yg berpikir, saya punya pilihan untuk mengisap rokok tersebut. Dan apabila aktivitas merokok merupakan artikulasi dari sebuah kebebasan, maka dalam definisi itu saya telah bebas sepenuhnya. Itu karena saya tak akan lagi peduli apa kata guru, apa kata orang tua, apa kata agama dan apa kata kesehatan. Satu-satunya yg saya dengar adalah hawa nafsu saya sendiri. Tapi pertanyaannya adalah; benarkah saya benar-benar telah bebas?
Begini, sebelumnya kita sama-sama tahu bahwa rokok mengandung zak adiktif yg membuat orang jadi kecanduan. Aktivitas merokok sebetulnya tak lebih dari efek samping zat tersebut. Ada determinasi kimiawi yg kita anggap sebagai sebuah kebebasan. Tidak hanya itu, determinasi ini kian dilanggengkan oleh kawan seperkumpulan dan hawa nafsu pribadi. Jadi, merokok sebetulnya sama sekali tidak membuat kita bebas.
Sampai di sini, saya ingin menawarkan satu perspektif baru. Bahwa apabila kebebasan kerap dimaknai sebagai bebas melakukan sesuatu, bagaimana bila kebebasan itu justru kita maknai secara terbalik, yakni sebagai bebas untuk tidak melakukan sesuatu, bebas untuk tidak menuruti hawa nafsu dan bebas untuk tidak berkegiatan tercela. Hanya dengan cara ini kita dapat merefleksikan tindakan kita dan mendengarkan suara hati yg jernih untuk artikulasi kebebasan yg bermutu.
Oleh karena itu, saya yg memilih tak merokok bukan berarti saya tidak bebas, melainkan sepenuhnya bebas karena mampu menolak dan tidak melakukan sesuatu. Dengan tolok ukurnya adalah kemuliaan tertinggi yang sifatnya bisa sangat universal.
Cara pandang seperti ini yang bisa kita terapkan di bulan Ramadan. Satu-satunya alasan akan knapa kita sebulan ini tidak makan dan minum seharian adalah bukan karena kebebasan kita dirampas. Namun justru kebebasan yg kita terima teramat besar, hingga nyaris tak terasa sama sekali. Tentu kita bisa saja makan dan minum di siang hari, tetapi bukankah mampu menolak dan tidak melakukan sesuatu itu lebih utama? Sebab negasi adalah awal mula dari penalaran.
Mari merayakan kebebasan dengan pahala dan kemuliaan 😃
0 komentar