Politik Sebagai Momen Perjumpaan dan Upaya Koeksistensial: Suatu Pengantar Filsafat Politik Yunani
2/23/2015
Alkisah ada seorang pelajar yang baru dinyatakan diterima di jurusan Ilmu Politik. Jadilah ia sekarang dilabeli mahasiswa, tepatnya mahasiswa baru ilmu politik. Dalam suatu perkenalan pertamanya kepada sang senior. Dengan mantapnya ia mengatakan bahwa politik adalah jalan hidupnya. Secara retoris ia menjabarkan bahwa harga tahu, tempe, hingga harga kolor yang dikenakannya itu ditentukan oleh politik. Sang senior pun hanya mengangguk takzim. Tampak sumringah melihat penuturan panjang si mahasiswa baru ilmu politik tersebut. Usut punya usut ternyata semenjak SMP ia memang sudah keranjingan dengan politik. Bila teman-teman sekolahnya asik berkutat dengan Naruto. Ia malah tenggelam dalam gosip-gosip perpolitikan tanah air. Tanyakan saja kepadanya mengenai isu terhangat tentang nasib para politikus ataupun partai politik dalam negeri. Niscaya ia mampu menjawabnya secara panjng lebar. Itulah mengapa ia memilih ilmu politik. Cita-citanya jadi politikus, politikus yang syukur-syukur bisa jadi anggota dewan. Hitung-hitung ingin berbakti pada nusa dan bangsa. Begitulah yang kira-kira dikatakan olehnya.
Awal kuliah, ia diwajibkan dosennya untuk membaca buku pengantar ilmu politik. Sebuah buku berwarna biru, klasik, legendaris dan telah dimanfaatkan oleh seantero fakultas sosial politik di negerinya. Di halaman sampul tertulis “dasar-dasar ilmu politik”, ditulis oleh Prof.Miriam Budiardjo. Buku itu semula dikiranya ditulis oleh laki-laki, ternyata sebetulnya ditulis oleh perempuan. Nama “Budi” memang tipu-tipu, begitu pikirnya. Jadilah itu buku akademik pertama yang dikunyahnya di fakultas sosial-politik. Tak sampai dua hari, ia berhasil mengkhatamkan buku klasik nan legendaris tersebut. Makin fasih lah ia dengan politik sebagai ilmu. Makin akrab ia dengan para teoritikus politik modern, lembaga-lembaga politik, sistem pemerintahan hingga fungsi partai politik. Bila dahulu ia hanya menyantap obrolan para pengamat politik di TV. Sekarang ia belajar konsep-konsep politik secara terstruktur, sistematis dan begitu masif. Demi mengejar cita-cita untuk nusa dan bangsa.
Penelusuran Aktifitas Politik Yunani
Hari demi hari terus berlanjut dengan sukacita. Hal ini berbanding lurus terhadap tingkat libido keingintahuannya yang makin membesar. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan proyek kecil-kecilan, yakni menelusuri asal-usul dari politik itu sendiri. Selentingan ia pernah mendengar bahwa Yunani merupakan cikal bakal dari politik, filsafat, peradaban barat modern maupun segala macam ilmu pengetahuan. Maka bertolak ia ke dalam pemikiran Yunani. Tekadnya memang sudah bulat, namun ia kesulitan dalam hal menentukan titik kordinat di mana ia harus memulai. Setelah pusing tujuh keliling, ia akhirnya paham bahwa langkah pertama ialah mesti membaca sejarah dari bangsa Yunani itu sendiri. Singkatnya, ia telah berhasil mendapatkan literatur yang dibutuhkan. Sekarang ia memiliki pengetahuan baru bahwa permulaan peradaban Yunani setidaknya dapat dirujuk pada abad ke 8 SM. Sementara itu, secara geografis daratan Yunani sebagian besar terdiri atas pegunungan yang gundul dan tanah yang tandus. Kondisi ini menyebabkan helen (sebutan untuk orang Yunani) menjadi pelaut hingga merantau ke daerah-daerah lain.
Bangsa Yunani menyadari bahwa mereka begitu berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Salah satunya karena Hellas menjalani kehidupannya dalam leksikon polis. Polis yang jika diterjemahkan berarti negara kota (city states) merupakan tempat diberlangsungkannya kegiatan untuk menyepakati perkara sosial kemasyarakatan keseharian. Konsep “negara” pada terminus negara kota itu jauh berbeda dengan konsep negara pada era modern. Perbedaan ini diantaranya adalah negara kota tidak mengenal adanya distingsi antara masyarakat dan negara sebagaimana negara modern mengenalnya. Sebaliknya dalam negara kota, masyarakat adalah negara, dan negara itu adalah masyarakat. Begitu identik satu sama lain. Dengan kata lain warga negara adalah polis itu sendiri, tidak ada pembedaan antara “kita”, rakyat jelata, “mereka”, ataupun pemerintah. Namun ada satu hal yang pasti, yaitu bahwa dalam polis, hanya lelaki dewasa berdarah yunani yang dianggap sebagai penduduk. Perempuan, anak-anak, dan para budak tidak diakui partisipasi dan status kependudukannya dalam polis
Karakteristik suatu polis dalam pengertian yang begitu kuno adalah republik, bukan monarki, tirani, ataupun dikator. Polis bertujuan untuk memajukan kepentingan umum. Tiada sistem perwakilan dalam memutuskn kepentingan umum. Sehingga seluruh warga negara biasa berkumpul di Agora (sejenis pasar) untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan mengambil keputusan. Agora itu sendiri sebagai tempat diberlangsungkannya urusan publik selalu ditempatkan en mesoi (di tengah kota). Lembaga-lembaga penting dalam urusan publik ini adalah sidang umum (ekklesia), dewan harian (bule), dan badan-badan pengadilan (dikasteria). Pada dasarnya bila sidang umum memainkan peranan secara dominan maka situasi sepeerti itu yang disebut dengan demokrasi. Akan tetapi bila dewan harian yang memainkan peranan dominan maka situasi tersebut disebut sebagai oligharki atau aristokrasi. Uniknya, dalam situasi seperti apapun baik itu demokrasi, oligharki ataupun aristokrasi. Maka situasi tersebut memerintah sebagai legislatif, yudikatif, dan eksekutif sekaligus.
Lebih lanjut, Polis pada galibnya memiliki luas wilayah yang begitu kecil. Diperkirakan bahwa polis hanya dihuni oleh 500-2000 lelaki dewasa. Ada banyak polis yang menyesaki Yunani, diantaranya ada Akragas, Kroton, Athena, Sparta, Miletos, Khorintos, Thebai, dan banyak lainnya. Tiap-tiap polis dalam beberapa kesempatan berperang satu sama lain. Tujuannya adalah untuk menyebarkan pengaruh dan meluaskan wilayahnya. Akan tetapi setelah Persia menyerang Athena, seluruh polis di Yunani bekerjasama untuk memukul mundur kekuatan persia tersebut. Walapun pada akhinya sejarah kemudian akan membuktikan bahwa seluruh Yunani akan ditaklukan oleh imperium Romawi.
Meskipun demikian, sekitar abad ke V SM Athena sebagai polis di Yunani pernah mengalami masa kejayaan dibawah naungan Pericles. Di mana Pericles telah mengantarkn Yunani ke dalam demokrasi. Setelah sebelumnya Athena dikuasai oleh kekuasaan tirani. Demokrasi di Athena sendiri dicirikan oleh sistem pemerintahan yang dikuasai oleh banyak orang. Pericles begitu menyadari bahwa bila pemerintahan hanya dikuasai oleh segelintir orang maka akan mudah bagi terciptanya penyimpangan kekuasaan. Oleh karena itu negara kota Athena pada masa itu bersifat paternalistik dan memiliki dimensi kekeluargaan serta ikatan batin yang kuat antar masing-masing penduduknya. Demokrasi di Athena dijalankan dengan berkumpulnya orang di agora. Keputusan diserahkan kepada warga negara dengan musyawarah maupun dengan cara pemilihan (voting) menggunakan batu. Bila batu berwarna hitam maka artinya tidak setuju, sementara bila batu berwarna putih berarti setuju. Singkat cerita, Athena pada perang Paloponesia dikalahkn oleh bala tentara Sparta. Kekalahan tersebut ternyata di satu sisi menimbulkan anugrah. Yakni di mana filsafat politik berkembang luas. Tokoh-tokoh filsuf seperti Plato dan Aristoteles lahir pasca kekalahan Athena tersebut.
Filsafat Politik Plato
Plato merupakan filsuf yang turut meratapi kekalahan Athena dari Sparta. Di sisi yang lain ia sebetulnya juga tidak suka terlalu menyukai dengan Athena yang menjalankan demokrasi. Demokrasi menurutnya turut andil dalam peristiwa kematian gurunya, Sokrates. Selain itu ia menilai bahwa melalui demokrasi pula Athena mengalami kekalahan dari Sparta. Sebab dalam kebebasan demokratis yang begitu tinggi, seluruh orang dapat berbicara sesuka hatinya tanpa dilandasi oleh pengetahuan. Berbicara mengenai negara, filsafat Plato tidak dapat dilepaskan dari ajaran mengenai etika. Menurutnya etika dan politik merupakan gugus kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Etika Plato berpuncak dalam suatu pandangan bahwa tujuan manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia). Sementara itu hidup yang baik dapat dilaksanakan dalam polis. Sehingga Plato menuturkan bahwa polis ideal menganut prinsip kebajikan (virtue). Di saat yang sama tujuan negara menurutnya adalah untuk mencapai kebijakan tersebut. Kebajikan itu sendiri tidak lain adalah pengetahuan. Sampai titik ini Plato mulai mendeteksi bahwa negara yang mengabaikan kebajikan berarti negara tersebut jauh dalam patokan ideal manusia.
Plato menawarkan pandangan bahwa prinsip-prinsip kebajikan tersebut dimiliki dan dapat dilaksanakan oleh seorang raja-filsuf (philosophe-king). Di mana raja filsuf memiliki pengetahuan yang dapat menyelesaikan masalah keseharian dan mengerti bagaimana cara membentuk mayarakat yang baik. Terkait dengan keputusan, raja-filsuf dalam memutuskan sesuatu perkara kemasyarakatatn selalu terjerembab dalam situasi-situasi khusus, sedangkan undang-undang dasar itu bersifat umum. Maka Raja-Filsuf berperan dalam memutuskan secara tegas menurut pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu Plato berpendapat bahwa dalam negara yang memiliki undang-undang dasar, bentuk pemerintahan terbaik adalah monarki, yang kurang baik adalah aristokrasi, dan yang terburuk adalah demokrasi. Sementara itu dalam negara yang tidak memiliki undang-undang dasar, bentuk pemerintahan terbaik adalah demokrasi, yang lebih baik adalah aristokrasi, dan terburuk adalah monarki.
Menurut Plato ada alasan tersendiri mengapa manusia harus hidup di dalam polis. Di mana alasan tersebut lebih bersifat ekonomis. Yaitu fakta bahwa manusia membutuhkan sesamanya. Manusia diberikan anugrah dan bakat yang tidak sama. Sehingga petani, tukang tenun, tukang kayu, gembala dan sebagainya harus saling berinteraksi untuk saling menutupi kekurangan-kekurangannya. Bila relasi ekonomis di dalam polis sudah sedemikian kompleksnya, maka dibutuhkan juga ahli musik, penyair, guru dan lain sebagainya. Spesialisai menjadi penting dalam filsafat politik Plato. Maka tidak heran bila Plato kemudian mengungkapkan bahwa negara ideal terdiri dari tiga golongan. Golongan pertama adalah filsuf, yakni mereka yang memiliki pengatahuan akan yang baik. Golongan kedua adalah prajurit, yakni supaya warga negara tunduk pada filsuf. Golongan ketiga adalah petani dan pedagang yang menanggung kehidupan polis. Sementara itu Budak tidak dimasukan dalam golongan manapun.
Lebih lanjut, Gagasan negara pada Plato kemudian bermuara pada hilangnya hak milik individua. Dengan kata lain Plato mengemukakan mengenai hak kepemilikan bersama, suatu kolektivisme primitif yang saat ini disebut sebagai komunisme. Uang, anak, perempuan adalah milik bersama dan diatur oleh negara. Seorang anak yang baru lahir tidak boleh diasuh oleh ibunya. Melainkan ia harus diasuh oleh negara. Bahkan hingga anak tersebut tidak tahu sama sekali siapa ayah dan ibu kandungnya. Dengan cara seperti itu diharapkan agar manusia tidak memiliki ikatan batin terhadap keluarga dan hanya boleh memiliki ikatan batin serta loyalitas kepada negara. Di saat yang sama pula, negara dalam pandangan Plato melarang hadirnya lembaga perkawinan. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas konsep kepemilikan bersama. Sehingga perempuan (istri) harus dijadikan milik kolektif pula. Alasan lain Plato mengatakan bahwa lembaga perkawinan telah menciptakan diskriminasi dan mengekang bakat perempuan. Sebab dalam pandangan Plato, secara kodrati laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama. Terkait dengan dengan perkara uang. Menurut Plato, uang telah menyebabkan masyarakat Athena menjadi egois dan tidak memperdulikan orang lain. Akumulasi kapital telah menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Walaupun demikian kelas budak masih belum diperhitungkan dalam pemikiran Plato. Plato percaya bahwa hakikat negara adalah pentingnya saling ketergantungan sesama warga negara
Filsafat Politik Aristoteles
Aristoteles merupakan murid terbaik yang dimiliki oleh Plato. Meskipun demikian Aristoteles banyak memiliki banyak perbedaan pandangan dengan gurunya. Namun terkait dengan tujuan negara, Aristoteles sepakat dengan gurunya bahwa negara itu didirikan karena kodrat kemanusiaan. Hingga ia menyimpukaln bahwa manusia menurut kodratnya adalah zoon politicon, suatiu istilah untuk mereferensikan manusia yang hidup dalam polis. Berbeda dengan gurunya, Aristoteles berpendapat bahwa untuk hidup dalam keutamaan, manusia perlu untuk memiliki hak milik. Akan tetapi kekayaan itu tidak boleh didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar. Uang hanya boleh diperlakukan sebagai alat tukar, tidak boleh menggunakan uang untuk mendapatkan bunga. Sementara itu Aristoteles juga berpendapat bahwa komponen terkecil dalam suatu negara adalah keluarga. Dengan kata lain Aristoteles membolehkan hadirnya lembaga perkawinan. Namun hal itu juga memiliki konsekuensinya tersendiri. Sebab perempuan pada akhirnya tidak diperlakukan sama dengan laki-laki. Aristoteles memandang bahwa perempuan tidak termasuk dalam hitungan warga negara. Seturut dengan hal tersebut, Aristoteles juga memaparkan bahwa relasi tuan-budak merupakan relasi yang kodrati. Tujuan hidup seorng budak tidak untuk dirinya sendiri, tetapi bersemayam dalam diri tuannya.
Berbicara mengenai bentuk pemerintahan yang paling baik, bagi Aristoteles tujuan negara adalah untuk kepentingan umum. Dan layaknya seorang ilmuwan politik, Aristoteles menelusuri berbagai macam susunan polis yang ada di Yunani. Untuk itu ia berpendapat bahwa ada tiga macam konstitusi. Tiga bentuk negara yang baik adalah monarki, aristokrasi, dan “politeia”. Sementara penyimpangan ketiganya disebut dengan tirani, oligarki, dn demokrasi. Aristoteles mengatakan bahwa bentuk pemerintahan monarki itu tidak praktis, sebab sulit untuk menemukan orang ideal yang seperti itu. Sementara Aristokrasi menurut Aristoteles juga sulit untuk direalisasikan sebab akan mudah untuk tergelincir menjadi oligharki. Sehingga Aristoteles pada akhinrya merasa bahwa yang paling mungkin untuk dilaksanakan adalah “Politeia”, Istilah Politeia itu sendiri mereferensikan diri pada demokrasi yang dilaksanakan di polis-polis Yunani namun memiliki undang-undang dasar. Dengan kata lain, apa yang ditawarkan oleh Aristoteles itu tidak jauh berbeda dengan praktek berbagai macam polis yang ada di Yunani.
Akhir Pembacaan
Begitu terpukaunya si mahasiswa baru ilmu politik tersebut dalam membaca sejarah politik serta pemikiran politik Yunani. Ia merasa bahwa selama ini ia terjebak untu berjarak terhadap kondisi sosial kemasyarakatan. Ternyata kondisi saat ini yang dipikirnya baik, justru menenggelamkanya dalam keputusan-keputusan orang lain. Di mana sistem perwakilan membatasi dirinya untuk dapat berpartisipasi langsung untuk mengambil keputusan bersama sebagaimana polis-polis Yunani mempraktekannya. Birokrasi yang bertele-tele juga menyadarkannya bahwa saat ini politik begitu artifisial dan terlalu bersifat mekanistik prosedural. Ia lalu mendambakan untuk dapat hidup dalam suatu polis, di mana setiap harinya terjadi perjumpaan. Politik sebagai perjumpaan merupakan momen untuk menymbangkan kehadiran dalam rangka memberikan argumentasi untuk kemaslahatan bersama. Sehingga bahwa tindakan politik dalam Yunani adalah memang benar-benar murni sebagai upaya koeksistensial. Di saat tujuan negara adalah untuk memberikan kebaikan bagi masyarakat.
Terkait politik sebagai ilmu. Ia kini kian menyadari bahwa Ilmu Politik saat ini diinisiasi oleh orang-orang semacam Plato ataupun Aristoteles. Namun ia merasa bahwa kajian ilmu politik modern yang sekarang digelutinya ini begitu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Plato maupun Aristoteles. Bila saat ini ia belajar ilmu politik di sesaki oleh persoalan seputar kekuatan-kekuatan politik, lingkup nasional, bersifat teknis, dan memiliki daya analisis yang bebas nilai. Maka dahulu kajin ilmu politik, lebih tepatnya filsafat politik begitu spekulatif dan secara berkesinambungan beruapa membuat masyarakat yang baik. Eudaimonia menjadi kata kunci penting dalam kajian politik Yunani. Pada akhirnya, ia yang dahulu bercita-cita menjadi anggota dewan, merebahkan cita-citanya tersebut dan sekarang ingin menjadi seorang ketua RT (Rukun Tetangga). Ia katakan bawa bila jadi ketua RT maka ia akan membuat lingkungannya dalam suasana Polis Yunani. Demokratis dan egaliter. Ada suatu perjumpaan dan upaya koeksistensial, begitu katanya. Namun dengan sedikit memberikan modofikasi, yaitu perempuan boleh untuk mengambil keputusan-keputusan. Sekian dan terimakasih.
Daftar Bacaan
Ahamd Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia, 2004
K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:Kanisius, 1979
Paul Cartledge, Ancient GreekPolitical Thougt in Practice, London:Cambridge, 2009
Rowe & Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, terj, Jakarta:Raja Grafindo Persda, 2001
*Tulisan ini didiskusikan dalam rangka mengenal pemikiran filsafat politik Plato dan Aristoteles pada Sekolah Pemikiran dan Ideologi, Pandu Budaya FIB UI.
0 komentar