Kardi dan Madilog
5/27/2015Pada suatu waktu, ada seorang bujang yang bernama Kardi. Dia merupakan seorang cerdik pandai di kampungnya. Kawanannya selalu dibuat terkesima dengan kecerdikannya. Bahkan mentor-mentornya juga takzim dengan kepandaiannya. Kalau masih tak percaya, tanyakan saja soal-soal ilmu ukur kepadanya. Niscaya tidak makan satu menit Kardi akan ludes melahapnya. Tak cuma ilmu ukur, kardi juga ternyata menguasai llmu-ilmu lain. Ia paham betul akan ilmu hayat, ilmu pisah, hingga ilmu bintang. Segala ilmu pasti pokoknya.
Sayang seribu sayang, di kampung tersebut para warga masih percaya betul dengan klenik. Kejadian alam disangkutpautkan dengan takhayul. Ambillah misal tentang petir. Kampung tersebut yakin bahwa petir adalah pertanda dewa langit sedang mengamuk. Atau ambil misal lain. Sekadar sakit bisul di mata dinggap sebagai kutukan. Kutukan karena mengintip gadis-gadis di sungai yang sedang mandi. Begitu kira-kira mitosnya.
Pernah suatu kejadian menimpa seorang pak tua di kampung itu. Tulang punggung Pak Tua patah akibat jatuh dari atas pohon belimbing. Walhasil tak bisa diri tegaklah si Pak Tua. Di situ akhirnya pak tua bertolak ke kekediaman pak dukun. Bukan dukun sembarangan, tapi dukun yang amat masyhur lah namanya seantero kampung. Singkatnya Pak Tua tiba disambut santernya bau kemenyan. Bercakaplah mereka berdua. Hingga Pak Tua dikasih banyak jampi-jampi. Ada arwah pohon belimbing yang nemplok di punggung Pak Tua. Begitu katanya.
Kembali pada Kardi. Baik kawan atau mentor boleh jadi terkesima dengan cerdik pandainya. Tapi mereka juga kadang menasihati Kardi agar tidak larut dalam ilmu pasti. Sebabnya bisa-bisa bid'ah. Takhayul lebih pasti daripada ilmu pasti. Begitu argumen kawan dan mentornya.
Menangapi nasehat seperti itu. Kardi tentu tidak terima. Dia merasa bahwa yang takhayul itu harus dilenyapkan. Digantikan oleh kepastian ilmu pengetahuan. Kardi di situ lalu banyak mengambil resiko. Dia pernah menantang warga kampung untuk keluar rumah ba'da tenggelamnya matahari. Tentu warga tak ada yang berani. Takut diculik genderuwo. Tetapi tidak bagi Kardi, dia dengan santainya lalu lalang, dan tak terjadi apa-apa.
Usut punya usut. Cita-cita kardi ternyata adalah saintis. Sejak kecil Kardi diinspirasi oleh seorang helen yang punya nama Heron. Di situ Kardi kagum akan kegiatan Heron yang telah berpunya hipotesis tentang uap dalam cerek. Tidak berhenti pada Heron, Kardi juga kian banyak tahu tentang Stephenson si penemu lokomotif. Sejak saat itulah ia bersumpah untuk jadi penemu. Penemu apapun, begitu pikirnya.
Detik demi detik berlalu, tak sengaja ketika bertandang ke kampung lain. Kardi menemu buku Madilog di tukang loak. Dia bolak-balik buku itu, hingga tahulah dia bawa yang nulis berpunya nama Tan Malaka. Nama itu mulanya asing di kepalanya. Sebabnya tak bukan karena Kardi cuma tahu tuan-tuan ilmu pasti saja. Yang buat Kardi menarik dari buku itu adalah kata logika. Tapi kata itu tak sendiri, melainkan berdampingan dengan kata materialisme dan dialektika. Jadilah dibaca materialisme dialektika logika. Dia akhirnya beli buku itu.
Saking semangatnya punya buku baru, Kardi tak berpulang dulu kerumah. Dia terbirit-birit hingga membacanya di pinggir kali perbatasan kampung. Lembar demi lembar dia baca Madilog. Selesai jualah barang tak sampai setengah jam. Ludes tak tersisa. Sesaat Kardi selesai membacanya. Berpikirlah ulang dia tentang kampungnya. Termenung-menunglah dia di pinggir kali, sendirian.
Melalui buku itu, Kardi menjadi tahu bahwa kampungnya saat ini menganut logika mistika. Suatu logika yang mendasarkan diri pada keghaiban semesta. Suatu corak berpikir yang memiliki keyakinan yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Beda betul dengan logika yang dianut olehnya. Kardi akhirnya paham bahwa corak berpikirnya adalah logika selogika-logikanya. Suatu sistem berpikir yang tersruktur, sistematik dan masif.
Madilog pun berkisah tentang dunia yang dihiasi oleh dua macam cara fikiran. Di satu sisi ada idealisme, di sisi lainnya ada materialisme. Pahamlah pula Kardi bahwa apa yang selama ini diminatinya, yakni sains adalah manifestasi materialisme. Bermula dari wujud material, penginderaan yang dilakukan, eksperimen dijalankan. Empiris dan dapat diuji. Sementara Idealisme ternyata omong kosong reaksinoner. Berangkat dari idea-idea dan bermuara pada gugus pikiran yang otonom. Menyibukan diri pada aksi melepaskan diri dari dunia ini.
Ambil misal, ketika merasa lapar, materialisme dapat menyuguhkan makanan. Tetapi idealisme hanya akan menyuguhkan kata “kenyang” saja. Itulah perbedaam yang kemudian mewujud daripada Hegel dan Marx. Yang satu idealis, yang satu materialis. Yang pertama adalah materi dari pikiran. Yang kedua adalah pikiran dari materi.
Namun begitu, Kardi mulai merenungi bahwa keduanya itu sama-sama berangkat dari dialektika. Dialektika adalah pertentangan gerak. Idealisme dialektikanya penuh impian, materialisme dialektikanya penuh kenyataan. Tujuannya pun jadi berbeda pula. Yang pertama mudah disusupi oleh logika mistika. Yang terakhir itu untuk suatu penemuan baru yang bisa mengubah dunia.
Dialektika materialisme kemudian juga mampu jawab soal yang tak dapat dijawab logika. Bila logika selogika-logikanya cuma bisa kasih “benar” atau “salah” dalam pertanyaan Karyo sedang lapar atau tidak, maka Dialektika materialisme mampu memberikan jawaban lebih. Bahkan bisa kasih makanan ke Karyo agar tidak lapar lagi.
Sekarang ini, pikir Kardi, kita harus berpijak pada bukti kebendaan (materialisme), berstrategi menyusun dialektika untuk kemudian menjawab pertanyaan yang tak dapat dijawab logika. Sembari tetap menggunakan logika sebagai sistem berpikir yang sistematik. "Madilog” ialah cara berpikir, yang berdasarkan Materialisme, Dialektika dan Logika buat mencari akibat, yang berdiri atas bukti yang cukup banyaknya dan tujuan diperalamkan dan diperamati. Tulis Tan Malaka
Kata-kata itu begitu diresapi oleh Kardi. Di situlah maka selain ingin jadi saintis, Kardi berpunya misi baru. Yakni mengemanispasi kampungnya dari jerat logika mistika. Semoga Kardi sukses. Sekian terimakasih.
*Tulisan ini didiskusikan pada 27 maret 2015 untuk Pandu Budaya UI
0 komentar