Bahasa Ekspresif dalam Teater ‘Suksesi atau Kudeta’ : Suatu Analisis Filsafat Bahasa dengan Pendekatan Fenomenologi Edmund Huserl

5/27/2015


Introduksi 
Depok, 27/04/2015, sebuah pertunjukan teater yang berjudul ‘Suksesi atau Kudeta’ diselenggarakan di auditorium gd.IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (FIB UI) oleh Teater Agora. Pertunjukan teater yang pada mulanya diawali oleh adegan ‘ranjang’ di sebuah kamar ini sebetulnya sedang  menarasikan mengenai nasib dan masa depan pondok mesin hasrat.[1] Di mana dikisahkan seorang Mami (germo) dari pondok mesin hasrat berniat untuk melepaskan jabatannya karena akan masuk ke dalam perpolitikan pelacur di tingkat internasional. Meskipun demikian, sang Mami ternyata tidak meninggalkan para anak-anaknya (baca: para pelacur) begitu saja. Melainkan sang Mami berinisiatif sebelum kepergiannya untuk mengadakan suksesi dalam rangka mengisi kekosongan kursi yang akan ditinggalkan oleh Mami secara demokratis.  Bakal calonnya tentu berasal dari para pelacur itu sendiri. Apabila dalam suksesi tersebut Mami baru berhasil terpilih, maka Mami yang  baru itu akan memimpin pondok mesin hasrat sebagaimana biasanya.   

Singkat cerita,  terdapat dua orang calon yang akan mengikuti suksesi tersebut. Hanya saja alur dari teater tersebut kian menjadi rumit tatkala suksesi yang nampak demokratis tersebut disusupi oleh intrik. Terdapat otoritarianisme sang Mami yang sedang disembunyikan dibalik klaim demokrasi. Hingga dua orang calon yang pada mulanya akan mengikuti suksesi malah mengundurkan diri. Walhasil seorang pelacur yang tidak disangka-sangka kelak menempati posisi sebagai Mami. Suksesi akhirnya menjadi tampak seperti kudeta. Bahasa menjadi siasat. Dan teater diakhiri dengan suatu melankoli. Di situ drama berakhir dalam kelesuan.

Bahasa Ekspresif dalam ‘Suksesi atau Kudeta’
Teater ‘Suksesi atau Kudeta’ pada galibnya dipentaskan dalam penggunaan bahasa keseharian yang sangat ekspresif.  Kita dapat mendengar untaian kata dalam berbentuk proposisi yang sebetulnya tidak ada sangkut paut referensialnya dengan kenyataan. Dalam catatan penulis, penggunaan kata-kata seperti ‘kentang’, ‘anjing’, ‘gila’, ‘tai’, ‘kecoa’ dan masih banyak lagi yang lainnya memang digunakan tidak pada tempatnya. Dalam artian kata-kata itu ditumpahkan sedemikian rupa oleh para pemain teater tersebut sebagai bentuk ekspresi diri. Sebagai contoh apabila pemahaman kita mengenai kata ‘kentang’ seharusnya merujuk pada suatu tanaman berjenis umbi-umbian yang memiliki penampakan dan kualitas tertentu yang membuat kentang disebut sebagai kentang. Teater ini justru mewartakan kata ‘kentang’ bukan dalam pemahaman yang seperti itu. Melainkan ‘kentang’ dalam konteks menit dan detik tertentu pada teater tersebut merujuk pada perasaan jengkel seorang pelanggan dari pondok mesin hasrat yang merasa tidak dihiraukan oleh si pelacur.

Tidak hanya kata ‘kentang’, begitupun juga penggunaan kata ‘gila’. Kata ‘gila’ jelas secara referensial merujuk pada suatu penyakit kejiwaan yang kriterianya ditentukan oleh komunitas ilmuwan tertentu, misalnya dalam hal ini psikiater dengan psikiatrinya. Akan tetapi, teater ‘Suksesi atau Kudeta’ sangat jelas mengabaikan referensi-referensi semacam itu. Kata ‘gila’ digunakan begitu saja tanpa mempertimbangkan konsekuensi referensialnya. Alih-alih merujuk pada suatu penyakit kejiwaan, kata ‘gila’ justru secara kontekstual digunakan untuk merujuk pada semacam ekspresi ketidaksepakatan. Seperti halnya ketika seorang pelacur berkata kepada salah seorang pelanggannya. “Kamu gila mas?” tentu yang dimaksdukan oleh si pelacur bukan palanggannya gila betulan. Melainkan sekadar ekspresi tidak sepakat saja dengan proposisi yang dilontarkan sebelumnya oleh si pelanggan tersebut.

Atomisme Logis, Teori Gambar hingga Problem Referensi
Dalam konteks  khazanah pemikiran filsafat mengenai bahasa, dikenal suatu aliran filsafat di Inggris yang bernama filsafat analitik. Kemunculan filsafat analitik ini tentu bukan tanpa alasan, melainkan lebih berupa reaksi atas idealisme yang mengandung metafisika.  Bila ditelusuri lebih lanjut, secara umum aliran ini memandang bahwa metafisika itu tidak bermakna dan hanya  omong kosong filosofis yang dibalut dalam bahasa yang hiperbolik. Salah seorang filsuf analitik dalam hal ini adalah Bertrand Russel. Dalam pemikiran filosofisnya, Russel merangkai teorinya yang ia sebut sebagai ‘atomisme logis’. Di mana tujuan dari teori tersebut adalah untuk menelanjangi struktur hakiki bahasa dan dunia.[2] 

Jalan pikir Russel kemudian mengarah pada adanya sebuah proposisi atomis. Di mana setiap proposisi atomis mengungkapkan suatu fakta atomis.[3] Dengan cara seperti itu, Russel lalu menyimpulkan bahasa identik dengan dunia. Sehingga mau tidak mau bahasa menjadi begitu rigid dalam genggaman Russel. Selanjutnya, apa yang diusahakan oleh Russel ini dikentalkan kembali oleh muridnya, Ludwig Witgeinstein. Dalam pemikiran filosofisnya, Witgeinstein memperkenalkan teori gambar (picture theory). Lebih radikal dari Russel, Witgeinstein menilai bahwa  bahasa yang dalam hal ini proposisi harus berkesesuaian dengan realitas. Seperti halnya sebuah gambar yang mereferensikan kenyataan di luar sana. Sehingga mau tidak mau, seluruh proposisi bahasa di tangan Witgeinstein harus memiliki referensi pada realitas. Bila tidak punya referensi, maka sebuah proposisi tersebut jelas tidak bermakna sama sekali.

Seperti halnya penggunaan kata ‘kentang’ yang ada di teater ‘suksesi atau kudeta’. Sudah tentu sekiranya para filsuf analitik semacam Russel maupun Witgeinstein akan mengerutkan kening. Lebih karena melihat sebuah teater yang kemungkinan besar menurut mereka tidak bermakna sama sekali. Di sini lah letak problem muncul, apabila memang teater ‘suksesi atau kudeta’ tidak bermakna hanya karena proposisi yang tidak referensial. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin para penonton yang menyaksikan teater tersebut dapat menikmati cerita tersebut? Mengapa selalu ada makna dibalik proposisi yang dikatakan tidak referensial itu?  Mengingat bahwa apabila kita mengikuti cara pandang filsafat analitik, maka harusnya kita tidak dapat memahami isi dari pertunjukan teater tersebut.

Bahasa Ekspresif dan Fenomenologi Huserl: Suatu Alternartif
Adalah Edmund Husserl yang telah mendirikan suatu aliran filsafat besar yang kemudian dikenal sebagai fenomenologi. Untuk sampai pada pandangan fenomenologi, Husserl telah terlebih dahulu mengkritik gurunya, Franz Brentano yang merupakan seorang ahli psikologi deskriptif. Bila kita terjemahkan, fenomenologi itu sendiri adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran.[4] Dalam pengertian yang paling sederhana, maka fenomenologi berurusan dengan apa yang nampak pada kesadaran subjek. Objek seluar diri subjek adalah esksis dikonstitusi oleh keberadaan dari si subjek itu sendiri. Di sini lah kemudian muncul peran kunci dari fenomenologi, utamanya mengenai intensionalitas. Bahwasanya kesadaran kita selalu terarah pada kesadaran akan sesuatu. Kesadaran tidaklah hadir di ruang hampa dengan segala kekosongannya. Melainkan selalu hadir pada hamparan hal yang menunggu untuk disadari.

Dari sini kemudian masuk pandangan sentral Huserl mengenai Lebenswelt, dunia yang dihayati. Hal itu lebih merupakan konsekuensi logis dari segenap intensionalitas yang dialami oleh subjek. Artinya setiap subjek dalam hal ini adalah unik. Masing-masing memiliki dunia kehidupannya sendiri, bersifat privat dan selalu mengkonstitusi apa yang disadarinya dalam sebuah penghayatan. Manusia sebagai subjek lalu menghidupkan makna dunia secara terarah melalui pengalaman yang dirasakan. Dengan begitu maka terletak otonomi subjek dalam rangka memaknai pengalaman secara apa adanya. Dan bersamaan dengan hal itu menyingkirkan segala macam bentuk presuposisi yang menjangkiti aktifitas pengalaman.

Dalam kaitannya dengan persoalan bahasa, maka lebenswelt Huserl dapat kita baca sebagai dunia yang kaya akan makna. Sementara itu berbicara mengenai makna, maka adalah keliru bila kita menyembunyikan bahasa ekspresif. Justru dunia yang kaya akan makna ini merangsang subjek untuk menelurkan kreatifitasnya dengan penggunaan bahasa-bahasa ekspresif. Artinya sebuah proposisi bahasa boleh jadi di tangan subjek tidak selalu terikat pada referensinya di luar sana. Dan bila kita mempertimbangkan kata ‘kentang’ yang digunakan pada teater ‘suksesi atau kudeta’ melalui analisa fenomenologi Huserlian, maka ‘kentang’ itu tetaplah bermakna karena dionstitusi oleh subjek yang mengungkapkannya.  

Makna yang diapropriasi oleh subjek saja tentu tidak cukup. Untuk itu Huserl memaparkan bahwa perjumpaan dengan orang lain juga membawa pada bentuk pengalaman dan pemahaman yang khas[5] Hal ini terjadi karena tiap-tiap subjek memiliki intensionalitasnya masing-masing. Lalu terdapat relasi timbal balik di dalamnya. Dengan demikian ini lah yang disebut sebagai intersubjektifitas. Di mana intersubjektifitas tersebut menjadi dasar bagi segala bentuk refleksi, sekaligus juga mengkonstitusikan pemahaman kita dalam horizon pra-reflektivitas yang tidak terbatas.[6] Singkatnya, intersubjektifitas ini kemudian menjadi syarat kemungkinan bagi seluruh historisitas manusia. Bersamaan dengan hal tersebut terdapat pula asas temporalitas dan momen afeksi yang terlibat dengan cara berada manusia dengan realitas. 

Konsekuensinya, kata-kata ekspresif seperti ‘anjing’, ‘kentang’, ‘tai’ dal lain sebagainya itu dapat bermakna sejauh ada syarat-syarat seperti yang dipaparkan oleh Huserl tersebut. Sebuah proposisi eh lo anjing! Kemari lo! tentu hanya dapat dimengerti berdasarkan temporalitas atau bahan lokalitas dari intersubjektifitas tertentu. Sehingga masing-masing subjek memahami bahwa proposisi tersebut dilontarkan sebagai bentuk ekspresi penghinaan misalnya.  Dengan kata lain di sini lah lalu terletak kedalaman dan kekayaan makna dari manusia.

Kesimpulan
Bahasa-bahasa objektif nan rigid seperti yang disodorkan oleh filafat analitik tentu memiliki keterbatasan dalam menjelaskan alasan mengapa sebuah proposisi yang tidak referensial namun nyatanya dapat dipahami. Untuk itu bahasa subjektif seperti fenomenologi Huserlian mampu memberikan eksplanasi mengenai situasi penggunaan  bahasa-bahasa ekspresif semacam itu. Bahwa ternyata memang terdapat variabel-variabel fenomenologis seperti temporalitas, subjektifitas, intersubjektifitas, afeksi dan lain sebagainya yang mampu menjembatani pemahaman secara teoritik akan mengapa subjek dapat memahami proposisi yang tidak referensial.

Selanjutnnya, variabel-variabel dari fenomenologi tersebut juga sebetulnya sedang menjelaskan hal lainnya. Bahwasanya konteks itu menjadi penting. Apabila seorang Jerman yang mengerti bahasa Indonesia namun tidak memahami bahasa-bahasa ekspresif Indonesia keseharian. Tentu seorang Jerman tersebut akan kesulitan dalam mencerna  proposisi ekspresif yang tidak referensial tersebut, boleh jadi ia malah akan memahaminya secara referensial. Pada akhirnya, penulis memandang bahwa kata-kata yang tidak referensial dan cenderung kontekstual itu adalah lebenswelt, suatu dunia yang sedang dihidupi dan dihayati.
***



[1] Pondok mesin hasrat merupakan semacam organisasi perkumpulan para PSK (Pekerja Seks Komersial)
[2] Lihat K.Berterns, Filsafat Barat Abad XX:Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hal 29
[3] Ibid, 29
[4] Lihat Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra. 2005, hal 151
[5]Lihat  Ito Prajna Nugroho, Fenomenologi Politik: Membongkar Politik Menyelami Manusia, Purworejo: Sanggar Pembebasan Pancasila, 2013, hal 40
[6] Ibid, 41

You Might Also Like

0 komentar

Gallery