Politik dan Fiksi
8/07/2017
Pada mulanya
Sepekan terakhir kita menyaksikan dua orasi politik yang jauh dari kata bermutu. Yang lebih dulu adalah pernyataan dari politisi Gerindra, sementara yg belakangan adalah penyataan dari politisi NasDem. Keduanya sama tak bermutunya, karena sebagai politisi, mereka telah gagal menciptakan diskursus publik yang mencerdaskan. Sebaliknya, keduanya justru mendeklarasikan diskursus tentang rasa saling curiga yang orientasinya adalah melenyapkan satu sama lain.
Begini, pada Senin (31/07), Waketum Gerindra Arief Poyuono menyebut bahwa partai bentukan Megawati, PDI-P, mirip dengan PKI. Terlontarnya pernyataan ini sendiri tak lepas dari polemik Presidential Treshold (Ambang Batas Pengajuan Capres) sebesar 20-25%. Di mana pada saat itu, Arief menanggapi pernyataan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang sebelumnya menyebut bahwa Prabowo berambisi menjadi presiden, sehingga menolak Presidential Treshold 20-25%.
"Nah, ini sama saja Joko Widodo dan PDIP serta antek-anteknya membohongi masyarakat dan kurang sampai otaknya tentang sebuah arti hak konstitusi warga negara dalam negara yang berdemokrasi. Jadi wajar saja kalau PDIP sering disamakan dengan PKI. Habis, sering buat lawak politik dan nipu rakyat, sih," kata Arief. Kronologi lengkapnya bisa dilihat di sini
Pernyataan Arief ini tentu sangat kontroversial. Mengingat bahwa di negara ini, PKI merupakan sebuah partai yang namanya begitu buruk di kalangan mayoritas masyarakat. Menyamakan PDI-P dengan PKI dapat dipahami oleh internal PDI-P sebagai pembusukan yang harus dilawan. Sebab bagaimanapun, bila PDI-P mendiamkan pernyataan Arief, persepsi yang berkembang di masyarakat adalah PDI-P benar adanya merupakan PKI. Untuk itulah, tidak mengherankan jika belakangan memang ada kader PDI-P yang melaporkan pernyataan Arief ini ke polisi.
Arief sendiri pada akhirnya telah meminta maaf ke PDI-P dan Megawati, tetapi toh proses hukum terus berjalan. Sampai tulisan ini dibuat, kasus ini juga masih bergulir di ranah hukum. Kita masih harus sabar menunggu apa yang akan terjadi setelahnya.
Sementara itu, belum sudah kasus Arief selesai, kita kembali dihebohkan oleh pernyataan dari Ketua Fraksi NasDem di DPR RI, Viktor Laiskodat. Dalam sebuah video pidato yang viral, pada Selasa (01/08), Viktor mengungkapkan bahwa Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat merupakan partai yang pro terhadap kelompok intoleran dan mendukung ide khilafah.
"Celakanya, partai-partai pendukungnya itu ada di NTT juga. Yang dukung supaya kelompok ekstremis ini tumbuh di NTT, partai nomor satu Gerindra, partai nomor dua itu namanya Demokrat, partai nomor tiga itu PKS, partai nomor empat namanya PAN," kata Viktor. Video lengkap pernyataannya bisa dilihat di sini
Adapun pidato Viktor tersebut memiliki keterkaitan erat dengan pembubaran HTI dan penerbitan Perppu Ormas. Di mana Perppu Ormas sendiri saat ini tengah digugat oleh sebagian kelompok ke MK. Sebagaimana kita ketahui, partai-partai oposisi (termasuk PAN) dengan tegas menolak diterbitkannya Perppu tersebut.
Saat ini, tercatat bahwa partai-partai yang dituduh Viktor sebagai pro khilafah telah melaporkan Viktor ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Proses politik maupun hukum tengah berjalan. Sekali lagi, kita masih belum bisa memastikan apa yang terjadi setelahnya. Yang bisa kita lakukan adalah sabar menanti akhir cerita kasus ini.
Tahun Politik Datang Lebih Awal
Kasus hukum yang menimpa Arief dan Viktor ini tentu sangat menarik. Terlebih bila kita membacanya dari ketegangan politik antara partai penguasa dan partai oposisi. Di mana dua kutub ini memiliki polarisasi yang mencolok sejak Pemilihan Umum 2014 yang lalu. Di saat ingatan kita masih bisa menerawang bahwa pada tahun itu, Jokowi berhadapan secara diametral dengan Prabowo.
Pertarungan itu sendiri menyisakan banyak hal, terutama soal partai mana saja yang menjadi bagian dari pemerintah dan partai mana yang kontra pemerintah. Kecuali adalah Demokrat yang hingga saat ini masih menganggap dirinya berada di tengah, alias tidak berpihak di manapun. Konsekuensinya, setidaknya hari-hari perpolitikan di negeri kita dapat ditafsirkan dengan mudah; bahwa UU maupun Perppu yang menguntungkan pemerintahan Jokowi akan dilibas habis oleh partai kontra pemerintah.
Alasannya bisa sangat sederhana, dalam UU Pemilu misalnya, hadirnya Presidential Treshold 20-25% berarti mempermudah jalan Jokowi untuk lanjut dua periode. Sebab secara matematika politik, partai pengusung Jokowi sudah melebihi angka minimal tersebut. Sebaliknya, di seberang sana, angka minimal seperti itu berarti sedikit menyulitkan Prabowo bila bertarung untuk kedua kalinya pada tahun 2019.
Seandainya angkanya berada pada 0%, maka calon yang dapat diajukan akan semakin banyak, konstituen akan dihadapkan oleh banyak pilihan, output-nya adalah suara yang masuk akan terbelah ke beberapa calon, tentu harapannya adalah dilakasanakannya pemilu putaran kedua. Peluang Prabowo jelas lebih besar bila skemanya seperti itu.
UU Pemilu itu sendiri saat ini tengah berada pada Judicial Review MK. Pada ranah hukum, kita dapat berdebat dengan mengeluarkan dalil yang beragam atas tafsir UUD seperti apa yang mampu menegasikan atau mengafirmasi UU tersebut. Namun dalam proses politik, harus diakui bahwa logika hukum akan selalu jauh lebih lamban bila dibandingkan dengan tendensi kepentingan.
Jika UU Pemilu didefinsikan sebagai artikulasi dari tendensi kepentingan 2019, maka Perppu Ormas pun sebetulnya demikian. Wacana pembubaran HTI yang dituduh ingin mendirikan khilafah dan dianggap anti-pancasila, yang kemudian disusul dengan diterbitkannya Perppu tersebut juga tak bisa dilepaskan dari artikulasi tersebut.
Di dalam ranah hukum, kita dapat berdebat tentang apakah ideologi dan segala tindakan yang dilakukan oleh HTI itu anti-pancasila atau tidak, juga bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Pun di dalam ranah yang lebih abstrak, kita dapat memperdebatkan apa itu sebetulnya pancasila. Tentang problem sejauh mana kita dapat memahaminya.
Dokumentasi sejarah sendiri menuturkan bahwa pemahaman pancasila dari tiap periode bernegara selalu berubah. Di era orde lama, pancasila dapat hidup berdampingan dengan komunisme. PKI kala itu menjadi sebuah partai yang sah dan mampu menarik suara yang banyak dalam pemilu tahun 1960. Namun pada era orde baru, pancasila ditafsirkan secara berbeda, pancasila dijadikan asas tunggal organisasi. PKI pun dianggap bertentangan dengan pancasila. Lain halnya dengan reformasi, pancasila a'la orde lama justru yang dianggap menyimpang, asas tunggal pancasila sebagai organisasi dihilangkan.
Sederhananya, bila kita mampu memperdebatkan pancasila dalam relung akademik, baik itu pada koridor hukum, filsafat, maupun sejarah, maka sebaliknya, di dalam koridor politik, alasan di balik kelahiran Perppu Ormas dapat dibaca tak lebih sebagai upaya pembentukan citra.
Dalam hal ini adalah citra pemerintah sebagai penegak pancasila. Kepentingan jangka panjangnya jelas; bahwa pemerintah adalah penafsir tunggal atas pancasila, sekaligus seluar dari kebijakan pemerintah adalah anti-pancasila. Ini merupakan strategi yang sekiranya dapat menguntungkan pemerintah di 2019 mendatang.
Meskipun demikian, langkah partai oposisi yang menolak UU Pemilu dan Perppu Ormas juga tidak bisa ditafsirkan sebagai "juru selamat" demokrasi. Sebab bila penolakan terhadap UU Pemilu nyata sekadar soal kalkulasi 2019, maka penolakan terhadap Perppu Ormas merupakan sikap ketidakpercayaan terhadap pemerintah, bahwa rezim saat ini adalah otoriter dan anti-islam.
Jadi, bila yang pertama adalah upaya memuluskan pencalonan Prabowo, maka yang kedua adalah upaya mendulang suara. Ini untuk menarik simpati masyarakat bahwa Prabowo justru anti terhadap otoritarianisme, sekaligus menjadi rumah besar bagi umat islam. Keduanya sama-sama bermakna untuk kepentingan 2019. Dari sini kemudian wacana PDI-P adalah PKI dan Gerindra adalah pro khilafah dimulai.
Fiksi dalam Politik
Jika kita kaji pernyataan Arief dan Viktor, kita akan menemukan bahwa keduanya berupaya untuk mengonstruksi sebuah citra terhadap lawan politiknya. Arief berasal dari Gerindra (partai kontra pemerintah), ia berusaha meyakinkan konstituennya bahwa PDI-P (partai pemerintah) merupakan PKI yang banyak berdusta, kebijakan yang diambil tidak pernah menguntungkan masyarakat, sehingga layak untuk tidak dipilih lagi.
Di sisi lain, Viktor berasal dari partai NasDem (partai pro pemerintah), ia berusaha meyakinkan konstituennya bahwa Gerindra, PAN, PKS, Demokrat (partai kontra pemerintah) merupakan pendukung khilafah dan pro kaum intoleran yang tidak pancasilais. Sehingga layak untuk dilenyapkan sesegera mungkin.
Identifikasi antara keduanya jelas bukan tanpa risiko. Keduanya telah membawa politik pada perkara persepsi biner. Seolah di Indonesia, yang ada hanyalah komunisme dan turunannya, serta khilafah dan turunannya. Yang satu dipersepsikan sebagai organisasi terlarang yang memuat ajaran yang penuh kejahatan; ateisme, otoritarianisme dan barbarisme. Sementara yang satu lagi dipersepsikan ingin melucuti pancasila dan mengubahnya menjadi syariat islam.
Problem utamanya, kita tidak pernah bisa memastikan apakah persepsi biner itu memang benar-benar ada di tengah masyarakat. Karena bagaimanapun, ide komunisme itu sebetulnya merupakan ide yang sudah sangat usang lagi utopis. Gagasan mengenai masyarakat tanpa kelas memang sangat menarik. Namun, implementasinya jauh lebih sulit daripada apa yang dapat dibayangkan. Komunisme internasional bahkan telah lama mati ketika Sovyet, melalui Nikita Khrushchev melakukan proyek destalinisasi. Paling jauh, komunisme yang ada saat ini dipelajari sebagai marxisme, yakni persoalan filsafat dan metodologi dalam mengkritik segala ketimpangan yang terjadi di dunia.
Gagasan mengenai khilafah pun demikian. HTI bahkan tidak pernah berusaha merebut kekuasaan dengan jalan militer. HTI tidak memiliki senjata sama sekali, yang mereka punya hanyalah semangat mendirikan imperium islam dengan cara damai. HTI menyebut usaha yang mereka lakukan sebagai thalabun-nushrah (mencari pertolongan). Yang pada praktiknya pernah diterapkan oleh perjuangan Nabi Muhammad ketika melakukan kaderisasi di Makkah. Gamblangnya, ide khilafah a'la HTI bukanlah ancaman bagi NKRI. Khilafah adalah proses yang akan sangat panjang bahkan utopis untuk dapat diterapkan di Indonesia.
Atas dasar demikian, apa yang diwacanakan kedua politisi yang bersebrangan itu tidak saja soal politik persepsi, tetapi yang lebih jauh adalah politik fiksi. Di mana fiksi sebagai sesuatu yang bersifat khayalan seolah ditarik ke dalam lingkar perdebatan publik. Untuk itu, sebetulnya yang tengah terjadi adalah pembicaraan akan sebuah "barang" yang bahkan tidak pernah ada di dalam konstalasi sosial-politik kita saat ini.
Lebih buruk lagi, apa yang diwacanakan oleh Arief dan Viktor boleh jadi hanyalah secuil dari narasi yang kebetulan terdokumentasikan oleh media. Kita tidak pernah tahu akan pemahaman seperti apa yang tengah bergulir di tingkat kader maupun akar rumput. Tidak juga ada jaminan untuk itu.
Sebagai sebuah konsekuensi, bila bersikeras bahwa politik dipahami sebagai perkara persepsi, maka apa yang dilakukan Arief dan Viktor adalah "benar" sebagai upaya untuk merengkuh kekuasaan. Politik lalu tidak lagi berurusan dengan fakta, seperti apakah program kerja partai A lebih baik bila dibandingkan partai B, apakah jejak rekam partai A lebih baik dibandingkan dengan partai B, dan seterusnya. Diskursus yang berkembang bukan lagi soal adu program kerja, melainkan soal ranah persepsi dari saling lempar fiksi itu sendiri.
Pertanyaanya, masihkah kita percaya pada fiksi? Di mana partai tak lagi kreatif dalam menyusun program kerja, tetapi kreatif dalam menyiptakan fiksi yang sangat tidak bermutu.
Terima kasih.
0 komentar