Gubernur Baru dan Imajinasi APBD Halal
11/03/2017
Saya percaya bahwa segala kesemrawutan yg kita temukan, terjadi karena kita gagal membuat demarkasi antara ruang publik dan privat.
Pejabat yang kita miliki, atau bahkan diri kita sendiri, telah keliru mengklasifikasikan persoalan. Menganggap bahwa yg publik adalah urusan privat, serta sebaliknya, menganggap bahwa yg privat adalah urusan publik.
Contoh konkritnya, belum lama ini terlontar sebuah pernyataan kontroversial dari Gubernur Baru. Di mana ia menyatakan bahwa alasan menutup Alexis adalah karena tak ingin APBD dicemari uang haram.
"Kami ingin uang halal. Kami ingin dari kerja halal. Enggak berkah itu," Ujar Gubernur Baru di Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (31/10) malam.
Bila kita renungi, pernyataan Gubernur Baru ini sangat tidak menunjukkan kedewasaan sebagai pejabat publik. Pasalnya, konsep '"Halal" maupun "Haram" sebetulnya adalah doktrin teologis dari agama tertentu.
Membawa konsep teologis ke dalam ranah publik tentu memiliki banyak risiko. Sebabnya, Ibu Kota bukanlah milik satu agama. Terdapat banyak agama yang bahkan memiliki pendefinisian halal dan haramnya masing-masing.
Lagi pula, tugas Ibu Kota sebagai derivasi dari negara adalah perkara administrasi keadilan. Jabatan publik adalah hasil dari kontrak politik antara masyarakat yang sedemikian plural dengan penguasa. Konsekuensinya, penguasa harus memastikan distribusi keadilan itu bekerja. Termasuk memfasilitasi minoritas dan mayoritas secara setara.
Ada banyak hal yang bisa kita perdebatan di sini. Katakanlah perdagangan babi, bir, transaksi perbankan, dan lain sebagainya. Hal-hal itu jelas haram di satu agama, tetapi justru dibolehkan pada agama yang lain. Banyak pula kebudayaan yang berkepentingan dan membutuhkan hal-hal itu.
Jadi, bila Gubernur Baru bersikeras untuk mendapatkan APBD yang dianggap halal menurut definisinya. Itu sama saja mendeklarasikan sebuah masyarakat yang monolitik. Serta mengkhianati kontrak politik yang dibuat sebelumnya.
Menutup Alexis memang satu hal, tetapi menyebutnya sebagai sesuatu yang haram, serta menyinggung APBD uang halal adalah hal yang lain.
Kita sepakat bila Alexis ditutup dengan alasan kemanusiaan. Mengingat perkara perbudakan dan penipuan yang menimpa para perempuan di dalamnya.
Meskipun begitu, kita juga tidak menginginkan hal-hal yang mengatasnamakan agenda kemanusiaan itu dikotori oleh kepentingan politis sesaat.
(Depok, 3 September 2017)
Pejabat yang kita miliki, atau bahkan diri kita sendiri, telah keliru mengklasifikasikan persoalan. Menganggap bahwa yg publik adalah urusan privat, serta sebaliknya, menganggap bahwa yg privat adalah urusan publik.
Contoh konkritnya, belum lama ini terlontar sebuah pernyataan kontroversial dari Gubernur Baru. Di mana ia menyatakan bahwa alasan menutup Alexis adalah karena tak ingin APBD dicemari uang haram.
"Kami ingin uang halal. Kami ingin dari kerja halal. Enggak berkah itu," Ujar Gubernur Baru di Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (31/10) malam.
Bila kita renungi, pernyataan Gubernur Baru ini sangat tidak menunjukkan kedewasaan sebagai pejabat publik. Pasalnya, konsep '"Halal" maupun "Haram" sebetulnya adalah doktrin teologis dari agama tertentu.
Membawa konsep teologis ke dalam ranah publik tentu memiliki banyak risiko. Sebabnya, Ibu Kota bukanlah milik satu agama. Terdapat banyak agama yang bahkan memiliki pendefinisian halal dan haramnya masing-masing.
Lagi pula, tugas Ibu Kota sebagai derivasi dari negara adalah perkara administrasi keadilan. Jabatan publik adalah hasil dari kontrak politik antara masyarakat yang sedemikian plural dengan penguasa. Konsekuensinya, penguasa harus memastikan distribusi keadilan itu bekerja. Termasuk memfasilitasi minoritas dan mayoritas secara setara.
Ada banyak hal yang bisa kita perdebatan di sini. Katakanlah perdagangan babi, bir, transaksi perbankan, dan lain sebagainya. Hal-hal itu jelas haram di satu agama, tetapi justru dibolehkan pada agama yang lain. Banyak pula kebudayaan yang berkepentingan dan membutuhkan hal-hal itu.
Jadi, bila Gubernur Baru bersikeras untuk mendapatkan APBD yang dianggap halal menurut definisinya. Itu sama saja mendeklarasikan sebuah masyarakat yang monolitik. Serta mengkhianati kontrak politik yang dibuat sebelumnya.
Menutup Alexis memang satu hal, tetapi menyebutnya sebagai sesuatu yang haram, serta menyinggung APBD uang halal adalah hal yang lain.
Kita sepakat bila Alexis ditutup dengan alasan kemanusiaan. Mengingat perkara perbudakan dan penipuan yang menimpa para perempuan di dalamnya.
Meskipun begitu, kita juga tidak menginginkan hal-hal yang mengatasnamakan agenda kemanusiaan itu dikotori oleh kepentingan politis sesaat.
(Depok, 3 September 2017)
0 komentar