Analisis Film Alice in The Wonderland (1951)

2/18/2015


Pada mulanya ketika diharuskan untuk memilih salah satu adegan saja dalam fillm Alice In The Wonderland dan menganalisisnya dengan teori-teori philosophy of Mind, saya sejujurnya agak sedikit merasa keberatan. Keberatan tersebut terjadi karena selama ini saya selalu berpendapat bahwa sebuah film haruslah dilihat dan dianalisis secara keseluruhan. Sebabnya film adalah bangunan peristiwa yang utuh, ada titik akhir di dalamnya yang sedang menunggu untuk diinterpretasi, mengambil salah satu bagian saja berarti akan membekukan alur film yang senyatanya masih mengalir dalam sebuah continuum.
Namun demikian tatkala saya menonton film Alice dari awal hingga akhir disertai dengan seluruh bangunan narasi philosophy of mind yang telah melekat di kepala ini, saya tersadar bahwa betapa film Alice ini sangat bernuansa filosofis. Perdebatan yang bahkan sudah dimulai sejak zaman yunani kuno mengenai argumentasi akan hadirnya realitas begitu tergambarkan dengan jelas dalam film tersebut. Apakah realitas itu tetap hadir lepas dari subjek, atau sebaliknya yakni realitas itu hanya akan eksis bila ada subjek. Pengalaman menakjubkan yang dialami oleh Alice di Wonderland itu sekiranya dapat menghasut curiousitas kita untuk kembali tenggelam memikirkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Sehingga tidak hanya Alice saja yang akan memiliki curiousitas ketika ia sebelas kali mengungkapkan “Aku ingin tahu” sebagai modal utama dalam penelusurannya yang pekat dan menakjubkan di wonderland.
Alice dan Pasukan Ratu
Selain bersifat filosofis, film Alice ini pada akhirnya dapat dibelah dalam beberapa fragmen. Setiap fragmen memiliki keunikannya tersendiri. Dan dalam kesempatan ini saya tertarik untuk menganalisis fragmen yang dialami Alice pada 1:12:02 sampai 1:14:19. Alasan saya mengambil fragmen senilai ±2 menit tersebut ialah karena saya merasa fragmen tersebut sekiranya juga dapat mewakili seluruh permasalahan filosofis yang ada di film itu, yakni mengenai permasalahan intensionalitas serta kaitannya dengan pikiran orang lain (other mind). Dalam fragmen yang saya pilih ini terdapat adegan ketika Alice dikejar oleh Ratu dan Raja beserta bala tentara yang terdiri dari kartu remi. Alice berlari kedalam sebuah labirin, namun Ratu dan bala tentaranya terus mengejar Alice. Hal ini tampak begitu lmenghibur ketika seluruh bala tentara Ratu tersebut saling berpencar kemudian bertabrakan dengan Alice, namun Alice justru menjadikan tentara kartu tersebut sebagai perosotan.
Pengejaran tersebut kemudian berlanjut di dalam lautan yang pada mulanya adalah sekadar sebuah cangkir teh. Ratu dan bala tentaranya terus mengejar dan berteriak-teriak “penggal kepalanya”, namun Alice tetap berenang hingga kemudian ia bertemu dengan Tuan Caterpillar. Tuan Caterpillar lalu menghembuskan kepulan asap yang keluar dari mulutnya, seketika kemudian lautan tadi berubah menjadi dimensi yang sama sekali lain. Layaknya terowongan, Alice berlari mengikuti arah jalan terowongan tersebut, hingga kemudian ia bertemu dengan sebuah pintu yang dapat berbicara. Alice berusaha membuka dengan memutar gagang pintu tersebut, akan tetapi sang pintu berkata bahwa dirinya masih terkunci. Sejurus kemudian bala tentara Ratu semakin mendekat, Alice begitu paniknya, dan sang pintu kemudian berkata kepada Alice bahwa sebetulnya Alice sudah ada di sisi luar. Alice lalu mengintip melalui lubang kunci pintu tersebut, dan benar saja ia mendapati bahwa di sisi luar terdapat dirinya yang sedang nyenyak tertidur dibawah pohon. Berteriaklah Alice kepada dirinya sendiri yang sedang berada di sisi luar, Bangun Alice, Bangun!. Dunia pun seolah memutar, hingga akhirnya Alice mendengar ada yang menyebut namanya. Ia kini mendapati dirinya sudah berada di dunia nyata, kembali berjumpa dengan ibunya. Ibunya menanyakan mengenai kesediaan Alice untuk menceritakan kembali pelajaran yang telah diberikan sebelumya. Alice meresponnya dengan mengungkapkan segala pengalaman yang telah ia saksikan secara terbata-bata kepada ibunya. Namun Ibunya tak menghiraukan ucapan Alice sama sekali, Ia pun kemudian mengajak Alice untuk pulang ke rumah dan meminum teh.
Pengalaman: Suatu Intensionalitas
Dalam fenomenologi ada kata kunci penting yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas sendiri merupakan suatu fitur kondisi mental yang berupa keterarahan kesadaran yang memungkinkan subjek menyadari sesuatu hal di luar dirinya. Sehingga kesadaran adalah bukan sesuatu yang kosong, melainkan kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu. Cara kerja kesadaran itu selalu mengandaikan adanya noema dan noesis. Noema adalah kesadaran yang mengarah pada sesuatu yang disadari. Sedangkan noesis adalah aktivitas menyadari sesuatu itu sendiri. Bagi Edmund Huserl “sesuatu” itu dapat berupa benda-benda fisik kasatmata (real), ataupun dapat juga berupa hal-hal non fisik yang tidak memiliki bentuk kasatmata, seperti halnya imajinasi, halusinasi, ingaatan, ide, konsep, dan lain seabagainya. Itulah sebabnya dalam fenomenologi Huserl dibedakan antara hal-hal indrawi (gegenstand), dan hal-hal non indrawi yang juga dapat hadir sebagai objek bagi kesadaran (objekt).
Berangkat dari pembedaan antara hal yang indrawi dan non-indrawi. Edmund Huserl mengatakan bahwa hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar sejauh diberikan. Melalui noema dan noesis yang saling berkorelat realitas menjadi tampak. Realitas itu sendiri harus dikonstitusi oleh kesadaran. Sementara itu konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Ada atau tidaknya dunia real tidak memiliki peranan lagi. Sehingga meskipun objek itu berasal dari mimpi sekalipun atau bahkan dunia ini hilang sama sekali, adanya penampakan objek tersebut dalam kesadaran adalah sesuatu yang benar, ia tak dapat disangkal. Satu hal yang pasti di sini adalah kita sebagai subjek sedang menyadari objek tersebut, dengan kata lain kesadaran itu sifatnya mensyaratkan adanya subjek dan objek. Oleh karena itu ketika membahas mengenai kesadaran yag dialami oleh subjek, maka hal itu jelas tak dapat diwakili sama sekali. Kesadaran akan pengalaman tertentu menjadi privat.
Masalah Other Mind
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai pengalaman yang bersifat privat. Maka pertanyannya adalah adakah posibilitas untuk menghindari privatnya pengalaman kesadaran tersebut sehingga seluruh orang bisa mengaksesnya? Untuk menjawab ini maka akan terdapat suatu problem epistemologi yang cukup serius. Yakni bahwa pada dasarnya kita selalu kekurangan akses terhadap orang lain. Untuk mendapat penjelasan mengenai isi pikiran orang lain biasanya kita memperhatikan tingkah laku (behavior) orang lain tersebut atau mencoba mendengarkan kisah-kisahnya yang dimediasi oleh bahasa. Namun satu hal yang pasti ialah bahwa pemahaman saya terhadap isi pikiran orang lain menjadi terdeterminasi sebatas pengetahuan saya mengenai tingkah laku yang tampak dan bahasa yang disampaikan oleh orang lain tersebut.
Seturut dengan bangunan fenomenologi beserta intensionalitas yang disodorkan oleh Huserl maka konsekuensi dari adanya kesadaran dan realitas yang saling berkorelat adalah bahwa ketika kita berusaha menempatkan diri sebagai subyek yang lain, maka pengalaman subyek yang lain tersebut tidak akan pernah identik dengan kita. Alasan lain mengapa kondisi mental tidak dapat dijelaskan secara lebih lanjut adalah bentuk pengalaman yang privat ini, ia tidak dapat diteliti secara objektif karena si peneliti mengalami pula kondisi kesadaran sehingga tidak dapat sepenuhnya menilai secara objektif. Di sisi lain, pengalaman yang privat ini sebetulnya juga dapat dieksplisitkan melalui bahasa yang telah menjadi konvensi, tetapi problem other mind tidak dapat diselesaikan melalui persoalan bahasa, kalaupun secara bahasa dapat ditemui kesepakatan, hal itu tidak menjadi bukti yang kuat apakah yang dialami satu subjek sama persis dengan yang dialami oleh subjek lainnya ketika kedua belah pihak berbicara melalui medium bahasa. Satu terminus yang sama dalam bahasa dapat dibayangkan berbeda secara konseptual antar masing-masing subjek. Hal ini sekiranya juga pernah diungkapkan oleh Thomas Nagel mengenai kondisi “what it was like to be” bahwa sebuah deskripsi tidak akan pernah sama dengan kejadiannya
Lalu Bagaimana dengan Pengalaman Alice?
Dalam kaitannya dengan fragmen yang saya pilih (1:12:02-1:14:19), terlihat bahwa segala sesuatu yang dialami oleh Alice pada akhirnya adalah sebuah mimpi. Segala keajaiban seperti pengejaran yang dilakukan oleh Ratu beserta bala tentaranya terhadap Alice di Wonderland ternyata adalah sesuatu yang tidak eksis di dunia nyata. Tatkala Alice bangun dari tidurnya, segalanya menjadi lenyap, namun ia masih bisa merasakan sensasi dan pengalaman ketika ia dikejar-kejar di wonderland. Hal yang menarik adalah bahwa Alice dapat menuturkan ingatan akan peristiwa yang dialaminya di wonderland walaupun secara terbata-bata kepada ibunya. Namun demikian ibunya tidak mengerti akan apa yang diceritakan oleh Alice tersebut. Artinya Kesadaran adalah pengalaman yang didapat secara langsung dan sifatnya privat, dan ini dialami oleh Alice di dalam mimpinya. Dalam analisis fenomenologi, segala pengalaman yang dialami oleh Alice sudah barang tentu hanya Alice sebagai subyek yang dapat mengetahuinya. Dengan kata lain di sini Alice dalam mimpinya disituasikan sampai pada kesadaran atas dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia sadar. Bahkan kesadaran yang dialami Alice sepintas menjadi begitu absurd ketika ia melihat dirinya sendiri yang sedang lelap tertidur melalui lubang kunci. Kesadaran Alice akan pengheliatan dirinya sebagai objek melalui lubang kunci ini sama sekali tidak dapat dibantah. Oleh karena itu kesadaran pada akhirnya ditunjukan pada dirinya sendiri dan secara aktif membentuk pengalaman tertentu.
Terkait dengan cerita Alice kepada ibunya tentang pengalamannya bertemu dengan Tuan Caterpillar, air, buaya kecil dan sebagainya. Ibunya sama sekali tidak paham dan menghiraukan apa yang dikatakan oleh Alice. Dalam hal ini Alice menggunakan medium bahasa untuk mendeskripsikan pengalamannya tersebut. Sementara bahasa itu tidak dapat menggambarkan realitas sebagaimana adanya. Selalu ada “batas” di mana bahasa tidak dapat mereferensikan realitas yang sama persis pada tiap-tiap orang. Sebagai contoh tatkala Alice mearacau mengenai air ke ibunya, maka sudah tentu air yang dibayangkan oleh ibunya berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Alice. Oleh karena itu apa yang dirasakan dan dialami Alice ketika ia dikejar-kejar oleh bala tentara Ratu adalah benar sejauh kasadaran Alice mengkonstitusinya. Sementara itu oran lain termasuk Ibunya tentu tak akan pernah dapat mengetahui pengalaman Alice tersbut secara utuh.
Daftar Bacaan :
Cinita Nestiti, Komparasi konsep kesadaran yoga patanjali dan sains materialistik, skripsi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. 2009 http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127390-RB16C194k-Komparasi%20konsep-Analisis.pdf
Ito Prajna Nugraha, Fenomenologi Politik, Purworejo, Sanggar Pembebasan Pancasila.2013
K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX:Inggris Jerman , Jakarta:Gramedia. 1983
Other Mind, Standford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/entries/other-minds/#6
Implikasi Pemikiran Other Mind, Catatan kuliah Philosophy Of Mind, Catatan kuliah Philosophy Of Mind

You Might Also Like

0 komentar

Gallery