Ketidakkonsistenan
1/29/2017Hidup adalah tentang permainan. Di dalamnya kita telah selalu menjadi pemain. Kadang kita menang, kadang pula kita kalah. Kadang kita berada di atas angin dan merayakannya, kadang pula kita terperosok jauh ke dasar tanah dan terpuruk sambil meratapinya. Kata orang, hidup memang bukan sekadar perkara menang atau kalah. Namun menang maupun kalah itu sendiri sejujurnya merecoki dan menyatu dalam napas dan denyut nadi kita. Disaksikan pula oleh waktu. Itu kenapa kita kadang bisa bahagia di detik pertama, lalu seketika sedih di detik kedua. Waktu sesungguhnya sedang mencatat itu secara statistikal.
Selebihnya kita mungkin dapat berdebat akan apakah kenyataan di luar sana itu memiliki kategori menang maupun kalah secara objektif ataupun tidak. Namun aku sendiri memandang bahwa kenyataan di luar sana itu sebetulnya tidak mengandung apa-apa sama sekali. Pikiran kita yang justru melekatkan kategori-kategori tertentu seperti nilai, moralitas, hingga perkara semacam menang maupun kalah pada kenyataan yang sedang kita libati.
Sebuah gunung yang meletuskan lahar tidak berarti apapun, sampai pikiran kita menjustifikasi bahwa itu adalah sebuah bencana alam karena merugikan manusia yang tinggal di daerah tersebut. Sementara, di Afrika sana, seekor singa yang sedang lahap memakan kijang hingga darah dan isi perutnya berhamburan juga tidak berarti apapun. Kita yang justru memberikan nilai atas itu. Kita misalnya dapat berceloteh dua hal, yang pertama bahwa perbuatan tersebut amatlah kejam. Yang kedua adalah bahwa singa itu menang dan kijang tersebut menderita kekalahan. Yang satu terus hidup dan yang satunya lagi hilang dari kenyataan. Sekali lagi, hidup berada dalam permainan semacam ini.
Apabila hidup memang sebuah permainan, maka menurutku hidup tidak lain adalah permainan yang isinya penuh ketidakkonsistenan. Sementara ketidakkonsistenan itu sendiri mengakar bahkan sejak kita pertama kali berkenalan dengan dunia. Ketidakkonsistenan tumbuh subur bersama usia. Ketidakkonsistenan bersemayam pada cara berpikir itu sendiri, tutur kata, hingga tindak perbuatan yang tengah kita lakukan.
Melalui adanya ketidakkonsistenan tersebut, kita dapat menjelaskan akan kenapa ada perubahan paradigma dan aksi pada masing-masing diri. Ketidakkonsistenan menjelaskan bahwa alasan terbaik kenapa ada orang yang pasang badan menolak ide swastanisasi dan tindak korupsi ketika masih berstatus mahasiswa, lalu berbalik menjadi pendukung bagi hal-hal yang ditolak sebelumnya di saat telah memiliki jabatan tertentu adalah karena ia memang disituasikan agar tidak pernah mungkin untuk konsisten.
Ketidakkonsistenan ini membidik siapa saja yang berada dalam kubangan kehidupan. Ketidakkonsistenan membiarkan kita untuk terus berproses sampai akhir hayat. Ketidakkonsistenan itu sendiri sebetulnya bermula pada suatu pergeseran titik yang kita libati. Dan dalam hidup ini, kita tidak pernah mungkin berada pada satu titik yang sama. Kita selalu bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Hal itu mengakibatkan berubahnya sudut pandang kita dalam melihat sesuatu. Apa yang kita lihat, apa yang kita baca, apa yang kita gauli, hingga apa yang kita rasakan setiap harinya memperkokoh sekaligus meruntuhkan nilai-nilai lama. Kelindannya demikian.
Jika dahulu menolak ide swastanisasi dengan cara menggelar demonstrasi berhadapan dengan puluhan polisi dimaknai sebagai suatu jalan untuk meraih kemenangan rakyat, maka kini apa yang dianggap kemenangan itu dianggapnya sebagai suatu kesalahan kecil yang pernah dilakukan. Ketidakkonsistenan itu hadir ketika ia menyadari bahwa ide swastanisasi itu merupakan ide yang paling efisien dan ramah bila diterapkan pada sektor publik.
Jika dahulu menggugat korupsi sebagai penyakit akut yang harus dimusnahkan, maka apa yang dilakukan sekarang justru menjelma menjadi koruptor itu sendiri. Korupsi dimaknai sebagai jalan untuk memenangi keinginan-keinginannya. Korupsi dianggap sebagai cara untuk menempuh itu semua. Ketidakkonsistenan sekali lagi terjadi di sini.
Meskipun demikian, kita tidak dapat menuduh ketidakkonsistenan itu sebagai sesuatu yang negatif. Pasalnya ketidakkonsistenan itu selalu seirama dengan tukar-menukar posisi. Ketidakkonsistenan sangat alamiah dalam arti demikian. Yang mulanya kanan jadi kiri, begitu sebaliknya. Yang mulanya teis jadi ateis, begitu sebaliknya. Yang mulanya malas jadi rajin, begitu sebaliknya. Yang mulanya preman jadi pendakwah, begitu sebaliknya.
Pertanyaanya kemudian, mungkinkah kita mengadili seseorang atas ketidakkonsistenannya terhadap sesuatu? Bagiku sendiri jawabnya adalah tentu saja mungkin. Bagaimanapun ketidakkonsistenan berupa angka. Jika semakin kecil angkanya, maka ia akan diadili. Sementara jika angkanya semakin besar, maka ia yang akan mengadili.
Pada akhirnya, dalam permainan ini, menjadi pemain yang memenangkan sesuatu dapat terjadi karena ia konsisten terhadap ketidakkonsistenannya. Ketidakkonsistenan itu yang lalu akan mengabarkan pada diri. Segala kabar baik atau buruk akan dimulai dari sini.
0 komentar