Semester 3 : Sebuah titik tolak kefilsafatan
1/22/2013
"Berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.
(Pramoedya Ananta Toer)
Dalam
semester-semester sebelumnya saya dengan sangat percaya dirinya
selalu menganggap filsafat adalah studi yang melampaui segala-galanya
dan dengan sangat arogan tanpa bukti empiria yang jelas saya selalu
memaknai serta mengklaim filsafat adalah alat perlawanan. Namun
terlepas dari itu semua jelas masih ada beberapa hal namun subtansial
yang mengganjal di hati saya terkait tentang apa yang dilampaui oleh
filsafat, apa yang harus saya lawan dan mengapa saya harus melawan?
Sejalan dengan masa pencarian saya tentang jawaban-jawaban tersebut.
saya juga berusaha aktif di organisasi Kemahasiswaan sebagai staff
Kajian dan aksi strategis di BEM FIB UI, dan dari organisasi inilah
akhirnya berhasil merumuskan dan membantu saya dalam menemukan
jawaban-jawaban yang cukup bisa saya pegang untuk sementara.
“Sementara” bagi saya karena saya selalu berpendapat bahwa forma
kebenaran selalu dapat berubah namun yang pasti subtansi dari
kebenaran itu selalu sama sehingga saya selau merasa membutuhkan
interpretasi baru terhadap forma kebenaran yang semakin sulit untuk
di pertahankan.
Kebenaran
sementara yang saya temukan berada pada suatu titik yang dimana saya
menjalani masa perkuliahan semester 3. Saya merasa bahwa semester ini
memang benar-benar mengajak saya untuk berjalan santai dan sesekali
berlari melintasi alam filsafat yang jauh lebih dalam. Saya masih
sangat ingat bahwa di semester ini saya mengambil 8 mata kuliah yaitu
Pengantar Filsafat Ilmu, Etika, Filsafat Timur, Filsafat Budaya,
Sejarah Filsafat Modern, Eksistensialisme, Metafisika, dan Sejarah
Indonesia. Terkahir yang saya sebutkan adalah bukan mata kuliah resmi
filsafat melainkan karena jumlah SKS yang berlebih sehingga saya
mengambil mata kuliah eksternal dari prodi sejarah tersebut.
Mengambil 8 mata kuliah serta harus tetap memberikan kontribusi
pemikiran, tenaga, dan juga waktu pada Kastrat BEM FIB UI bukanlah
hal yang mudah namun juga bukan merupakan hal yang sulit. Tugas yang
menumpuk serta berbagai macam isu kampus maupun isu nasional yang
tetap harus saya beri perhatian yang sama otomatis membutuhkan suatu
manajemen waktu yang baik. Saya teringat akan kata-kata dari seorang
senior bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang sibuk melainkan yang
ada hanyalah orang yang tidak bisa mengatur waktunya dengan baik.
Seiring menikmati
masa-masa perkuliahan dan juga organisasi kemahasiswaan. Saya
mendapatan sesuatu hal yang berharga pada kedua kegiatan tersebut. Di
dalam perkuliahan saya menengok lebih dalam seakan melihat suatu
cakrawala pengetahuan yang begitu luas. Pada mata kuliah Filsafat
Ilmu, saya belajar tentang asal-usul ilmu pengetahuan dan posisi
filsafat setelah ditinggalkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan tersebut.
Jadi pada zaman dahulu sebelum kita mengenal Ilmu-ilmu seperti Ilmu
ekonomi, sosiologi, Ilmu politik, psikologi, fisika, biologi, dan
berbagai macam ilmu lainnya maka sebetulnya hanya ada satu yang
membahas kesemua bidang ilmu tersebut yaitu filsafat. Namun seiring
berjalannya waktu dan muncul suatu gerakan yang bernama positivisme,
perlahan tapi pasti bidang penyelidikan tersebut mulai meninggalkan
filsafat dan menjadi suatu disiplin ilmu yang mempunyai metode
tersendiri. Lalu saat ini bidang penyelidikan filsafat dimana?
Filsafat kemudian mempunyai bidang kajian bari yaitu filsafat ilmu
yang menyelidiki hakikat dari ilmu-ilmu tersebut. Dalam hal ini
filsafat membongkar kaidah-kaidah serta memeriksa metode dan
metodologi yang dipakai ilmu-ilmu itu. Saya seketika teringat akan
beberapa filsuf dari filsafat ilmu yaitu ada Karl Popper, Thomas
Kuhn, Imre Lakatos, Paul fayerband, dll. Pemikiran mereka memang
membuat ilmuwan menjadi “kesal” karena dalam hal ini Ilmuwan
selalu direcoki terkait “cangkul” yang ilmuwan tersebut gunakan
dalam melihat suatu bidang realita. Saya selalu bersemangat dalam
mengikutu mata kuliah ini. Tak heran kalau di mata kuliah ini saya
selalu aktif bertanya. Namun terlepas dari itu semua, setidaknya
setelah saya berhasil lulus dengan nilai yang tidak terlalu cantik
akan tetapi saya benar-benar belajar banyak dari mata kuliah ini.
Saya seolah berdiri di luar kotak dan dengan sabar memperhatikan
pergerakan setiap ilmu-ilmu tersebut. Sisi positifnya saya menjadi
lebih kritis dengan klaim suatu bidang keilmuwan tertentu, karena
sesuai dengan pertanyaan epistemologis yang mendasarkan filsafat
ilmu. Maka pertanyaan saya terhadap suatu ilmu positif menjadi
bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan tersebut?
Etika,
mata kuliah yang satu ini mengajarkan saya akan suatu orientasi
bagaimana melihat tatanan moral yang ada pada hidup ini. Orientasi
yang saya maksud adalah bahwa etika selalu bertujuan agar hidup itu
tidak hanya ikut-ikutan saja terhadap berbagai macam klaim institusi
yang dengan kaidah moralnya memaksa tentang bagaimana cara harus
menjalani hidup. Dalam hal ini etika bermaksud memberikan pengertian
mengapa kita harus memilih nilai moral yang ini daripada yang itu
sehingga pilihan moral yang kita pilih menjadi dapat lebih
dipertanggungjawabkan. Etika merupakan cabang filsafat yang sangat
kritis, karena pada dasarnya etika selalu mempertanyakan tentang
keabsahan suatu tatanan nilai moral tertentu. Bagi saya pribadi,
krisis moral yang melanda bangsa ini setidaknya salah satunya
disebabkan karena masyarakat yang belum mempunyai suatu sarana
orientasi dalam menjustifikasi moral-moral yang ada, sehingga
pengertian akan mengapa kita harus bermoral menjadi dangkal dan tidal
mendasar. Belajar etika sangat menyenangkan, ada etika deontologi,
utilitarian, diskursus, dan banyak lagi yang lainnya. Yang
masing-masing etika tersebut menawarkan diri untuk menyediakan sarana
orientasi.
Sejak
saya masuk jurusan filsafat UI, saya selalu diberikan
pemikiran-pemikiran filsafat barat. Memang pada semester 2 saya
belajar mengenai filsafat islam, akan tetapi tetap saja, pada
hakikatnya filsafat islampun sebetulnya merupakan sintesa dari
pemikran filsafat barat yunani klasik yang disesuaikan dengan agama
islam. Namun di semeter 3 saya mendapati seuatu mata kuliah yang
benar-benar berbeda yaitu filsafat timur. Ketika saya pertama kali
membaca filsafat timur, yang pertama saya pikir adalah bahwa
seolah-olah filsafat timur bukan filsafat (filsafat dalam pengertian
saya), karena di filsafat timur saya belajar tentang pemikiran
Hinduisme, Budhisme, Taoisme, Jainisme, Konfusianisme, dan berbagai
macam aliran filsafat lainnya. Sepengetahuan saya pada aliran
filsafat timur tersebut pertama kali adalah agama. Karena sejak awal
saya mengetahui aliran-aliran tersebut memang sebagai agama. Sebagai
contoh Filsafat Budhisme, filsafat budhisme sebetulnya merupakan
suatu sistem filsafat heterodox yang menolak otoritas veda. Veda
sendiri merupakan tulisan-tulisan dari filsafat hiduisme. Namun
terlepas dari itu semua, filsafat di dunia timur mengajarkan saya
akan suatu pemikiran yang benar-benar segar dan berbeda dari filsafat
barat. Yang paling saya ingat adalah tentang salah satu ajaran
filsafatnya yang mengajarkan tentang penolakan terhadap hasrat.
Seperti menurut filsafat budhisme, hasrat (desire) adalah suatu
penderitaan dan penderitaan tersebut harus dapat di hapuskan. Cerita
tentang epos ramayana dan mahabaratapun merupakan salah satu hal yang
dibahas di dalam mata kuliah ini. Sungguh cerita pemikiran filsafat
yang luar biasa.
Berbicara
mengenai pengahayatan hidup, ada mata kuliah yang bernama
eksistensialisme. Mata kuliah ini memang mata kulia pilihan, namun
sungguh nikmat membaca karya-karya filsuf eksistensialis semacam
Nietzhe, Buber, Sartre, dan beberapa filsuf lainnya. Betapa tidak,
Eksistensialisme mengajarkan saya bahwa hidup ini terus berjalan
sehingga masa depan adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan suatu
senyuman. Boleh dibilang eksistensialisme memberikan suatu pengertian
tentang mengapa kita harus tetap menjalani hidup ini. Memang pada
dasarnya semua filsuf eksistensialispun tidak selalu sepakat mengenai
“the other” karena masing-masing berjalan dengan pemikirannya
masing-masing. Namun yang dispekati bersama adalah bahwa eksistensi
selalu mendahului esensi. Dengan klaim kesepakatan seperti ini
berarti bahwa setiap individyu adalah bebas dalam menentukan
pilihan-pilihan dan jalan hidupnya sendiri, sehingga apa yang menjadi
pilihan kita tentulah akan berdampak pada masa depan kita. Namun
kebebasan yang kita milikipun tidak selalu hanya berdampak pada masa
depan kita melainkan akan berdampak pada orang lain juga. Meminjam
kata-kata levinas, Respondeo
ergo sum.
Aku bertanggung jawab maka aku ada. Sejauh yang saya pahami
eksistensialisme benar-benar mengajarkan saya akan apa itu
sesungguhnya makna kehidupan.
Di
awal perkuliahan ada satu mata kuliah yang membuat seluruh
teman-teman di kelas menjadi terbahak-bahak. Saya masih ingat ketika
saya dengan sangat lugunya menjelaskan bahwa mata kuliah ini jika di
ketik pada mesin pencari google adalah ilmu ghaib, klenik, mistis,
dan yang berbau hantu. Nama mata kuliah itu tak lain adalah
metafisika. Pada dasarnya orang awam memang biasanya memaknai
metafisika sebagai ilmu yang berabu mistis, terlebih berbagai macam
media selalu memberitakan tentang hal ghaib dengan istilah
metafisika. Namun berbanding terbalik seperti pendapat orang awam
tersebut maka metafisika sejatinya tidak mengajarkan saya akan
pembukaan mata batin yang ghaib seperti itu, namun justru melampaui
dari hal yang ghaib. Dalam metafisika saya belajar banyak akan
sesuatu yang secara empiris tidak ada, namun secara konseptual bisa
dipikirkan. Seperti halnya demokrasi, kebaikan, kejahatan, keindahan,
Tuhan, dsb. Metafisika juga mengajarkan saya bagaimana cara melihat
sesutu permasalahan dari subtasi permasalahan tersebut sehingga kita
tidak hanya menghabiskan waktu untuk berkutat pada sesuatu yang tidak
perlu. Saya katakan bahwa metafisika adalah mata kuliah yang sangat
luar biasa. Karena masalah-masalah filsafat juga sebetulnya merupakan
masalah metafisis karena merupakan “ada” yang secara konseptual.
Filsafat
yang menjadi titik tolak perlawanan adalah mata kuliah filsafat
budaya. mata kuliah ini seolah-olah benar-benar menjungkir balikan
struktur yang sudah tertanam pada diri saya. Sehingga pada mata
kuliah ini saya sangat merasa berfilsafat. Filsafat budaya adalah
suatu studi filsafati yang membongkar mengenai hakikat kebudayaan.
Dalam filsafat jelas terlihat bahwa suatu kebudayaan adalah sesuatu
kegiatan yang dilakukan secara repetisi mekanistik oleh satu orang
yang kemudian dilegitimasi oleh banyak orang sehingga memunculkan
yang namanya budaya. setelah itu, terlihat bahwa terkadang repetisi
mekanistik tersebut pada suatu titik terjadi perlawanan akan sesuatu
hal baru yang menilai bahwa kebudayaan tersebut memiskinkan. Sebagai
contoh pada kebudayaan patriarki yang melihat bahwa kedudukan
laki-laki selalu lebih tinggi dari pada perempuan maka antitesanya
adalah gerakan feminisme yang ingin mengubah pola pikir patrialkal
yang sudah menjadi repetisi mekanistik tersebut kedalam tatanan yang
egaliter yang dimana perempuan dan laki-laki saling sejajar pada
segala bidang. Poin disini adalah bukan tentang bagaimana saya harus
menolak kebudayaan patriarki melainkan lebih dari itu yakni sebuah
pembelajaran akan perlawanan tentang sesuatu yang sudah menjadi
begitu ideologis. Karena pada hakikatnya kebudayaan adalah ciptaan
mansuia, dan oleh karenanya maka kebudayaan dapat di dekonstruksi
oleh manusia sehingga menciptakan budaya yang kreatif.
Berbicara
mengenai sejarah maka dalam filsafat semester 3 sesuai dengan gerak
sejarahnya maka saya belajar apa yang dinamakan dengan sejarah
filsafat modern. Dalam sejarah filsafat modern saya berjumpa dengan
para tokoh-tokoh filsuf besar seperti hegel, marx, spinoza, hume,
kant, dan beberapa filsuf modern lainnya yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Yang saya dapat petik dari para filsuf modern
adalah kesemua dari mereka (kecuali Nietzhce) mencoba mencari suatu
kebenaran yang universal. Sungguh suatu proyek raksasa yang sangat
luar biasa. Pertentangan antara empirisme dan rasionalisme juga
terjadi di abad modern ini, hingga pada akhirnya Kant dengan
lihainya berhasil mensintesakan kedua aliran yang berbeda tersebut.
Mata kuliah ini ditutup dengan kuliah terakhir yaitu tentang
pemikiran Karl Marx, nama Marx memang tidak begitu asing di telinga
saya karena sejak SMP saya sudah sangat sering mendengar nama filsuf
tersebut. Pada bidang sosiologi ataupun ekonomilah saya mengenal nama
marx, akan tetapi setelah masuk jurusan filsafat saya baru mengetahui
bahwa terlepas dari kapasitas dia sebagai seorang sosiolog ataupun
ekonom namun dia sejatinya adalah sosok filsuf yang besar yang
melihat bahwa dunia ini selalu di isi oleh 2 kelas. Yaitu kelas
penindas (borjuis) dan kelas tertindas (ploretar), sehingga pada
akhirnya ia mencita-citakan suatu tatanan masyarakat tanpa kelas.
Marx benar-benar melawan repetisi mekanistik tatanan kapitalisme yang
dinaggapnya tidak mensejahterahkan umat manusia. Term seperti
kesadaran palsu, alienasi, dan candu merupakan beberpa term dasar
dalam memahami filsafat marx. Namun tetap saja dalam pemikiran
filsafat selalu akan ada kritik yang menjembatani pemikran marx pada
dunia dewasa ini. Karena sesungguhnya filsafat marx sangatlah utopis
namun tetap saja, analisis serta pisau yang dipakainya buat membedah
tatanan masyarakat sungguh masih dapat dipakai hingga saat ini.
Yang
terakhir adalah mata kuliah mengenai sejarah. namun sejarah yang saya
ambil ini bukan milik jurusan filsafat melainkan milik jurusan
sejarah. Tepatnya nama mata kuliah ini adalah sejarah Indonesia.
Jelas, di dalam mata kuliah ini saya menyaksikan bagaimana peradaban
bangsa ini dibangun mulai dari zama kerajaan tertua yaitu kerajaan
kutai hingga masa reformasi. Yang paling saya ingat adalah disini
banyak angkatan tua dari 15 jurusan yang hadir mengikuti kelas ini,
kebetulan saya menjadi mahasiswa angkatan 2011 sehingga menjadi
mahasiswa termuda di kelas ini. Suasana belajar di kelas sejarah
Indonesia kelas E ini sangat menyenangkan. Dosen yang kedisiplinannya
sangat longgar menjadikan saya dan beberapa teman-teman lainnya
menjadi sering terlambat. Bahkan ada mahasiswa yang 20 menit sebelum
bel selesai baru menampakan dirinya di kelas, sungguh luar biasa.
Namun terlepas dari suasana kelas yang begitu longgar namun
menyenagkan saya tetap fokus memperhatikan teman-teman yang sedang
presentasi mengenai sejarah yang ada di Indonesia. Satu hal yang saya
ketahui, sejarah Indonesia memang sangat jawa-sentris yang dimana
segala sesuatunya dilihat berdasarkan orientasi di pulau jawa. Namun
terlepas dari itu semua pemahaman saya terhadap sejarah menjadi
semakin lebih dalam. Saya memang bukan tipe orang yang senang membaca
buku sejarah, tetapi ketika sudah menyelam dalam alam sejarah
seolah-olah saya seperti terbang kedalam mesin waktu menuju masa
lalu yang dapat saya petik adalah bahwa coretan sejarah di masa lalu
itu selalu berbanding lurus mempengaruhi masa kini.
Setidaknya
8 mata kuliah yang saya ambil pada semester 3 tersebut sangat
mempengaruhi pola pemikiran saya untuk kedepannya, sehingga saya
mengatakan bahwa titik tolak kefilsafatan saya adalah pada semester
ini. Di semester 3 juga saya semakin sadar bahwa berbagai macam
demonstrasi yang saya lakukan bersama kawan-kawan seperjuangn di BEM
FIB UI adalah bukan tanpa alasan, melainkan sebuah realisasi akan
nilai-nilai kefilsafatan yang telah saya pelajari. Seperti apa yang
telah dikatakan oleh kierkeegard mengenai kerumunan. Maka pada
dasarnya aktifnya saya di organisasi ini adalah bukan hanya sekedar
ikut-ikutan saja melainkan secara berkesadaran dan sejalan untuk
tetap melakukan perlawanan. Saya memang cinta rakyat, tetapi saya
lebih cinta pada apa yang namanya kebenaran. Bagi saya sekarang
semakin jelas, lawan saya adalah kemunafikan dan kezaliman. Namun
tentu saja, kemunafikan maupun kezaliman merupakan sesuatu hal yang
sifatnya sangat konseptual sehingga dibutuhkan suatu pemikiran yang
mendalam akan apa sebetulnya hakikat dari kedua hal yang saya harus
lawan tersebut. 8 mata kuliah itu menurut saya adalah suatu bekal
hantaran dari bekal-bekal semster sebelumnya yang pada akhirnya dapat
membawa saya pada bekal-bekal semester selanjutnya yang bisa membawa
saya menjadi seorang sarjana filsafat yang kritis sehingga dapat
memecahkan berbagai macam persoalan yang ada di negara ini.
2 komentar
baca sampe ke bagian eksistensialisme masih semangat.. setelah itu, *scroll langsung ke form komentar*
ReplyDeletehahahha.. ini resume perkuliahan semester 3 kali ya ki :D
wahahaha. . . iya nih kum. . catat biar ga lupa. wehehe. . :)
ReplyDelete