Pemaknaan Maulid Nabi Dalam Perspektif Sawangan
1/25/2013
Budaya
pada hakikatnya adalah suatu kegiatan repetisi mekanistik yang dilakukan oleh
segenap orang pada wilayah tertentu dan dalam waktu yang cukup lama.
Begitupun kelahiran nabi Muhammad SAW
yang jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul awal selalu di peringati secara
berulang-ulang setiap tahunnya dengan berbagai macam cara dan pemaknaan oleh kaum
muslimin pada wilayah tertentu. Pemaknaan yang berbeda-beda yang dilakukan
oleh setiap kaum muslimin sebetulnya bukan tanpa alasan, karena Sebagaimana yang
telah diketahui sebelumnya bahwa memang pada dasarnya kedatangan agama islam di
Indonesia mengalami apa yang disebut dengan sinkretisme budaya sehingga ajaran
islam yang murni tercampur baur oleh kebudayaan setempat. Sehingga ajaran Islam
yang melarang perayaan kelahiran Nabi Muhammadpun menjadi sah-sah saja ketika
mayoritas masyarakat melegitimasi kegiatan tersebut dengan alasan sudah menjadi
tradisi turun temurun.
Bertolak
dari hal demikian itu dan sebagai masyarakat yang tinggal di Sawangan city yang
menyaksikan langsung prosesi pelaksanaan peringatan hari lahir Muhammad atau
yang biasa disebut dengan maulid nabi maka dalam tulisan ini saya akan sedikit
melukiskan tentang tradisi yang dilakukan oleh masyarakat sawangan. Setidaknya
dalam masyarakat sawangan secara umum masyarakatnya menganut paham ahlu sunnah waljamah namun tetap terkotak-kotakan
oleh paham ajaran dua organisasi besar yaitu antara Muhammadiyah di satu pihak dan
Nahdhatul Ulama (NU) di lain pihak. Namun disini saya tidak akan membahas
mengenai pandangan muhammadiyah, karena organisasi ini sikapnya sudah jelas
yaitu hanya berpedoman pada Al-Quran dan Al-Hadist saja sehingga menolak segala
macam ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran murni islam secara tegas dengan
istilah yang dikenal sebagai bid’ah. Sebaliknya
Nahdhatul Ulama yang lebih tradisionalis bisa deal dengan kebudayaan setempat.
Walhasil perayaan maulid nabi Muhammadpun dijalankan di sawangan.
Tradisi
klasik dalam memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di daerah sawangan yang
mengambil sudut pandang NU ini bisa dibilang cukup membuat hati anak-anak
menjadi senang. Betapa tidak, di kampung ini terdapat himbauan kepada setiap keluarga untuk memasak dan membungkus
masakannya untuk di antar ke Masjid yang dalam hal ini masjid bertindak sebagai
tuan rumah dalam pelaksanaan maulid. Masakan yang di antar ke masjid ini
terdiri dari dua jenis. Yang pertama adalah yang dikenal dengan istilah “paros”
dan yang kedua dengan istilah “kisah”. Untuk paros setidaknya menu yang berada
didalamnya adalah kira-kira seperti telor dicabein, mie goreng, bihun, acar,
lengkyu, dan tentunya nasi yang sangat banyak. Kemudian “paros-paros” ini di
distribusikan ke masjid penyelenggara maulid untuk dibagi-bagikan kembali pada
anak-anak yang mengantri yang notanene asal anak-anak ini bisa dari segala
penjuru sawangan, bahkan tidak tertutup kemungkinan anak dari luar sawangan
turut hadir dalam mengantri “paros” tersebut. Yang unik adalah bahwa walaupun
sebetulnya pembagian “paros” ini ditujukan untuk anak-anak namun kenyatannya
banyak pula ibu-ibu yang turut serta mengantri. Walaupun demikian kegiatan
mengantri sepertinya tidak selalu berbanding lurus dengan suasana yang semakin
panas, sehingga aksi dorong-doronganpun selalu menjadi pemandangan yang biasa
ketika maulid tiba. Tidak jarang pula saya menjumpai anak-anak kecil yang sudah
mengantri namun menitipkan “paros” yang ia miliki pada temannya, dan iapun
kembali masuk barisan untuk mengantri kembali.
Setelah
acara pembagian “paros” selesai, acara yang utama adalah ceramah keagamaan yang
setelah ceramah keagamaan selesai maka akan dibagikan bingkisan yang bernama
“kisah”, seperti yang sudah diutarakan sebelumnya “kisah” ini pun adalah hasil
swadaya masyarakat yang berada disekitar masjid penyelenggara. Perbedaan antara
“kisah” dan “paros” setidaknya dapat dilihat dari perwujudannya. Jika “kisah”
memakai anyaman daun kelapa sebagai pembungkusnya, maka “paros” hanya memakai
plastic “kresek” saja. Menu yang berada di dalam “kisah”pun sebetulnya tidak
terlalu berbeda dengan “paros”, namun yang menjadi perbedaan mencolok adalah
adanya lauk ikan mas didalamnya. Acara pengajian memperingati maulid nabi yang
diisi dengan ceramah keagamaan inipun dihadiri oleh orang-orang dari penjuru
sawangan. Baik oleh laki, laki, perempuan, anak-anak, orang tua dan siapa saja
boleh mendatangi pengajian tersebut.
Pada
akhirnya, saya berpendapat bahwa memang sejatinya setiap daerah memiliki
pemaknaan yang berbeda-beda dalam menyikapi maulid nabi Muhammad. Namun
terlepas dari itu semua yang menjadi subtansi tetap adalah seharusnya sebuah penghayatan
nilai-nilai ajaran Muhammad sebagi Rasul yang membawa ayat-ayat Allah.
Perlilaku Nabi Muhammad yang akhlaknya tiada celapun bisa menjadi panutan kepada
setiap umat manusia. Banyak kalangan yang menilai bahwa masyarakat sawangan
dalam menyikapi maulid nabi hanya sekedar rutinitas tahunan dan terkadang
pragmatis karena untuk datang ke pengajian demi iming-iming sebuah “kisah”
ataupun “paros” namun harapan saya adalah bahwa terlepas dari steorotipe
tersebut, setidaknya setiap individunya
bisa meresapi nilai-nilai religiusitas yang terkandung didalamnya dan membawa
niat yang baik serta menjadi pribadi yang meneladani akhlak Rasullulah.
This is it. ! Me with "Kisah" |
1 komentar
Me :
ReplyDelete*buka blogger*
*liat reading list*
"Pemaknaan Maulid Nabi dalam Perspektif........ Sawangan ??!!"
What the hell.. bahasanya udah keren banget, di akhir judul ada 'Sawangan'
ngakak deh gue ki.. :D