Tentang Pedagang di Stasiun Dan Demokrasi Kertas
1/10/2013
“People shouldn't be afraid of their government. Governments should be afraid of their people.”
(Alan Moore)
(Alan Moore)
Agenda penertiban umum belum lama ini secara perlahan
tapi pasti mulai menunjukan taringnya yang tajam. Yaitu sterilisasi
Stasiun-stasiun yang terhampar dari
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi termasuk Sterilisasi peron di
stasiun UI dan stasiun Pocin yang dilakukan oleh PT KAI dengan dalih
mengembalikan hak-hak penumpang. Yang dimaksud dengan sterilisasi ini
tidak lain dan tidak bukan adalah adanya suatu penggusuran pedagang
kios kecil yang berada di sepanjang peron yang dalam prosesnya sangat
mengabaikan hak asasi manusia. Dalam Kasus penggusuran di stasiun UI,
dan stasiun Pocin, yang notabene lokasi kedua stasiun tesebut memang
berdekatan dengan lokasi kampus. Maka tidak heran jika Mahasiswa UI
bersama para pedagang yang mengatas namakan dirinya aliansi pedagang
stasiun UI bersama-sama turun ke jalan menuntut cara penggusuran (red :
relokasi) yang lebih manusiawi dengan cara duduk bersama antara pihak
pedagang dengan PT KAI, atau bahkan Kementerian BUMN yang seharusnya
menjembatani agar kedua belah pihak dapat melakukan musyawarah untuk
mufakat seperti yang sudah di amanahkan oleh konstitusi republik ini,
sehingga kedua belah pihak bisa saling mendapatkan konsesus yang saling
menguntungkan satu sama lain. Tapi fakta berbicara lain, PT KAI seolah
tuli, dan kementerian BUMN seolah buta dalam menangani permasalahan ini.
Penggusuran pun tetap dilaksanakan. Bahkan dalam kasus penggusuran di
stasiun-stasiun lainnya dilakukan secara paksa dan sewenang-wenang
bahkan melibatkan TNI dan Polri untuk menakut-nakuti sisi psikologis
pedagang. Lalu pedagang? Pedagang hanya bisa pasrah dalam menerima
suratan takdir seolah-olah ini sudah menjadi kehendak mutlak Tuhan.
Namun hingga sampai tulisan ini ditulis, dapat dikatakan hanya pedagang
di Stasiun UI dan stasiun Pocin yang masih bisa bertahan karena setiap
detiknya selalu ada penjagaan dan bahkan perlawanan oleh Mahasiswa
bersama aliansi pedagang.
Melihat kebijakan sterilisasi yang sangat tidak bijak
yang mengabaikan hak-hak asasi manusia di dalamnya. Hingga tidak adanya
kejelasan akan kemana setelah pedagang digusur, tentulah menyebabkan
kebijakan penggusuran tersebut menjadi benang kusut yang tidak
memecahkan masalah dan sangat kontra produktif dalam menata
perekonomian Negara yang sudah semakin korup ini. Masalah kemiskinan
kaum urban justru semakin menjadi bom waktu, yang pada akhirnya berujung
pada instabilitas sosial. Bagi para pedagang yang berada di stasiun,
logika sederhana yang mereka miliki untuk menyambung hidup adalah dengan
hanya berdagang di stasiun, karena di tengah gelombang kondisi
perekonomian yang semakin sulit, mereka tidak bisa berpikir untuk
beralih pekerjaan. Pada dasarnya memang pedagang di stasiun mempunyai
pilihan dalam menentukan pekerjaan yang mereka sukai. Tapi setiap
pekerjaan yang ada selalu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan
yang dimiliki, dan pendidikan yang mereka miliki tidaklah sebanding
dengan pekerjaan yang mereka impikan sehingga mau tidak mau, suka tidak
suka satu-satunya pilihan pekerjaan yang mungkin mereka lakukan adalah
dengan berdagang dan itu di lakukan di stasiun. Inilah yang menurut saya
di lupakan oleh kalkulasi para pemegang kebijakan yang selalu tidak
bijak dalam mengambil keputusan. Para pemegang kebijakan hanya berdiri
di menara gading dan hanya melihat para pedagang di stasiun (mungkin)
hanya sebagai kerumunan lalat yang tidak penting dan bisa di usir
kapanpun mereka mau. Benarlah seperti yang sudah diramalkan oleh
filsuf-filsuf eksistensialis. Manusia modern yang sudah tekooptasi pada
industrialisasi yang dalam hal ini pejabat pemangku kebijakan melihat
bahwa para rakyat yang mereka tindas adalah sebuah hitung-hitungan
diatas kertas dalam bentuk tabel-tabel laporan sehingga hati nurani
mereka secara otomatis semakin beku. Menurut saya inilah potret suram
kekuasaan yang buta terhadap rakyat yang konkret.
Sejatinya, Negara kita adalah Negara demokrasi dan jika
kita melihat dasar konstitusi dan dasar Negara yang sudah dibuat
sedemikian cantiknya oleh pendiri bangsa, yang berupa UUD’45 dan
Pancasila maka sebetulnya jika itu saja dijalankan sesuai dengan amanah
yang tertulis maka tentulah akan menciptakan tatanan masyarkat yang
adil, yang tidak akan pernah terdengar suara jeritan dan tangisan rakyat
kecil akan suatu penggusuran. Namun pada kenyataannya kehidupan
demokrasi yang cantik ini justru menjadi suatu kemunafikan belaka. Bagi
para pedagangpun, demokrasi hanyalah suatu utopis dan khayalan yang
paling liar yang pernah mereka impikan. Betapa tidak, dalam UU yang
menjadi perdebatan di DPR yang pada akhirnya mensahkan ratusan pasal
tentang hak-hak asasi manusia, namun kenyataannya justru jauh panggang
dari api. UU dimaknai para legislator hanya menjadi proker yang wajib
di buat dan ditulis tanpa pernah diawasi pelaksanannya. Meminjam
kata-kata Donny Gahral selaku dosen saya maka baginya “Demokrasi adalah
sederet hak yang tergurat di atas kertas!” tentu saja, kebijakan tentang
penggusuran pedagang di stasiun yang tidak manusiawi semakin
mengindikasikan bahwa Negara ini hanyalah Negara dengan paham demokrasi
kertas yang kosong dengan subtansi roh dari demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itulah maka perjuangan atas ketertindasan rakyat kecil yang
dilakukan oleh kawan-kawan Mahasiswa UI bersama para pedagang menjadi
tanda akan adanya suatu harapan untuk mengisi subtansi roh demokrasi
menjadi seperti yang seharusnya dengan cara menempatkan rakyat kecil
sebagai manusia konkret yang hak-haknya harus di hormati.
Hidup Mahasiswa!!!
Hidup Rakyat Indonesia!!!
Oleh Rizki Baiquni Pratama
Mahasiswa Ilmu Filsafat’11
Universitas Indonesia
2 komentar
Wakakaka.. tulisan activist tuh kea gini ya ki.
ReplyDeleteNgakak pas baca 'suratan takdir' sama 'kerumunan lalat'
hahahaha nice post ki :D
HHahahah.. . .
ReplyDeletedialektika perjuangan akan terus berlanjut sampai titik "the end of history" :D