Sebagian orang jengkel dengan aksi penumpang MRT yang nongkrong dan makan di stasiun. Rasa jengkel itu ditumpahkan ke media sosial. Di sanalah mereka menyebut penumpang itu tak beradab, norak, dan tak berbudaya.
Ucapan itu barangkali memang tak bermakna apa-apa. Lebih khusus untuk kita yang terbiasa hidup dalam arus perkotaan. Di kala efisiensi menjadi tolak ukur, di kala tertib sosial menjadi sebuah keharusan.
Etika kota memang mengajarkan bahwa makan dan minum mesti dilakukan di tempat yang disediakan. Ruang publik kota bekerja dalam pikiran semacam itu. Yakni, segalanya harus serba teratur. Semua yang melanggarnya dicap tak etis.
Situasi kota semacam ini--dalam ilmu sosial humaniora--dikenal sebagai era modernitas. Sebuah era yang ditandai dengan revolusi industri di Inggris. Era yang lalu dianggap sebagai puncak dari rasionalitas manusia. Fase di mana ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jawaban. Di luar itu, segalanya diminta untuk menyingkir
Sejarah lalu menunjukkan bahwa modernitas itu telah menyingkirkan banyak hal. Suku Aborigin merupakan satu dari banyak hal yang disingkirkan atas nama modernitas.
Sejak kedatangan bangsa Eropa pada awal abad ke-17, kondisi Aborigin yang terbiasa menjalani hidup selaras dengan alam menerima penilaian buruk. Mereka yang menjalani ritusnya sendiri dan berburu hewan itu dianggap tak etis--tak rasional.
Pelaut Inggris, William Dampier, menyebut Aborigin tidak beradab. Dia menilai warga Aborigin tak lebih sebagai manusia barbar. Dampier sendiri merupakan orang Inggris yang pertama kali mendaratkan kapalnya ke tanah Australia.
Dalam sudut pandang orang Inggris--sebagaimana yang ditulis sejarawan Australia Henry Reynolds--tanah Australia kala itu dipahami sebagai sebuah terra nulius, yakni tanah tak bertuan. Kolonialisme memandang bahwa Aborigin liar dan kejam, serta tak memiliki kedaulatan karena tak memiliki sistem pemerintahan modern.
Maka, cerita selanjutnya warga Aborigin benar-benar disingkirkan. Wajah Australia yang dahulu dihuni orang berkulit hitam, berambut keriting, bermata cekung, bibir tebal, kini dihuni oleh orang berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru.
Pepohonan yang dinilai tumbuh liar, kini disulap menjadi gedung-gedung tinggi. Hewan seperti kanguru dan koala yang dahulu hidup bebas, kini dilokalisir ke kebun binatang. Segalanya lantas berubah.
Watak modernitas memang demikian. Dia selalu melenyapkan sesuatu yang berbeda. Pelenyapanitu disandarkan pada apa yang disebut filsafat atau linguistik sebagai oposisi biner. Yakni, sistem yang berusaha membagi dunia dalam dua klasifikasi.
Dalam sistem dualistik itu, modernitas selalu melihat dunia ini ke dalam dua pertentangan. Misalnya: beradab/primitif, ilmiah/klenik, disiplin/berantakan, serta sederet hal lainnya. Hal yang menjadi penentang itulah yang kemudian selalu disingkirkan.
Kini, fenomena semacam itulah yang sebetulnya tengah kita hadapi. Orang kota, melalui media sosial miliknya, berupaya mempredikatkan mereka yang dianggap makan tidak pada tempatnya sebagai kesalahan. Layaknya Dampier yang memandang warga Aborigin sebagai kesalahan karena tak senada dengan modernitas.
Meski demikian, beda orang kota dan Dampier terletak hanya pada satu hal. Jika Dampiermenggunakan senjata, maka kini orang kota menggunakan kata-kata. Sesuatu yang bisa jadi lebih menyakitkan daripada senjata api yang digunakan Dampier.
Memang, nongkrong dan makan di MRT pada akhirnya akan dilarang. Ditulis besar-besar bahwa MRT bukanlah objek wisata. Namun pertanyaannya, bukankah mencela orang lain dengan berlindung di balik rasionalitas itu sendiri merupakan sesuatu yang irasional? Layaknya seirasionalbangsa Eropa yang menghabisi Aborigin dahulu kala.
Pada akhirnya pula, bukankah nongkrong adalah budaya kita? Budaya yang sejak dahulu beruratmengakar di kehidupan sosial. Budaya yang kerap kali disimbolkan dengan rantang dan percakapan sederhana. Yang meski itu semua perlahan dikikis oleh etika perkotaan.