Masa Kecilku

12/25/2016

Sejak kecil, aku selalu merasa berbeda dengan anak seusiaku. Bila teman-temanku memiliki intensionalitas yang penuh terhadap dunianya, dunia anak-anak yang normal, maka aku pikir aku hanya separuh memilikinya. Baiklah, aku memang mengakui bahwa diriku juga suka bermain video game, menerbangkan layang-layang, membaca komik, hingga menonton film kartun. Namun di sela-sela itu, aku merasa bahwa aku lebih nyaman di dalam keheningan, memanjakan alam pikiranku sendiri, membayangkan berbagai hipotesa dari sebuah kenyataan dan doktrin yang kerap aku ragukan.

Guru ngaji yang kumiliki pernah mengajarkan bahwa kita sebagai manusia memiliki takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Di saat seluruh teman-temanku mengangguk sopan tanda menyetujuinya, aku justru pulang ke rumah dengan belasan pertanyaan terhadap pernyataan tersebut. Kepalaku disesaki oleh berbagai macam kemungkinan akan apa yang terjadi bila pernyataan itu memang benar adanya. Pada waktu itu, keberatanku cukup sederhana, yakni bila Tuhan itu memang sudah memberi takdir kepada kita, maka apakah ketika aku menggerakan tanganku ke atas atau menggerakan jari-jemari juga merupakan sebuah takdir? Jika itu memang sebuah takdir, bukankah berarti hidup itu amatlah mengerikan? Mengerikan karena apa-apa yang terjadi sudah diprogram dari atas sana. Bagiku ini jelas tidak masuk akal sama sekali. Dan yang paling menyebalkan, ketika aku sudah berpikr demikian, pertanyaanku, apakah Tuhan juga sudah menakdirkan bahwa aku akan berpikir demikian?

Kisah lainnya, aku pernah menjadi seorang anak yang suka bermain di kebun belakang. Kebetulan, rumahku dulu memiliki banyak pohon-pohon besar. Salah satunya adalah pohon rambutan, di situlah aku sering bermain di bawahnya, sambil melindungi diri dari terik sinar matahari. Jadi, apa yang aku lakukan di bawah sana adalah bermain dengan daun rambutan yang berada di tanah. Aku tidak tahu apa nama permainan ini, tapi yang jelas, apa yang aku lakukan adalah berusaha menyobek dedaunan pohon rambutan menjadi sekecil mungkin hanya dengan tangan kosong. Aku memiliki pendapat bahwa jika aku konsisten, maka akan ada potongan daun yang terkecil yang tidak akan mampu untuk aku sobek lagi. Meskipun demikian, aku juga memiliki dugaan lain, bahwa bisa jadi akan ada titik akhir di mana daun yang aku sobek akan lenyap ketika aku terus menyobeknya.  

Pertanyaan datang dan pergi sesukanya dari kepalaku, hingga pada suatu hari aku begitu tertarik dengan buah mangga. Aku agak lupa tentang bagaimana awal mula aku bisa tertarik dengan buah itu, seingatku aku hanya mengambil dua potong dari rujak yang dimakan oleh ibuku. Aku ingin mengamati mekanisme pembusukan yang ada pada buang mangga. Jadi, waktu itu aku membuat sebuah riset kecil-kecilan, di situ satu potong mangga aku letakan di sebuah piring plastik kecil yang aku masukan ke dalam lemari pendingin. Sementara itu, satu potong mangga lainnya juga aku letakan di sebuah piring plastik kecil, tetapi kali ini aku taburkan berbagai macam zat yang ada di dapur. Seingatku aku menaruh garam, kecap dan cuka di atas permukaan potongan mangga tersebut, kemudian setelah itu baru aku masukan ke lemari pendingin. Setelah dua hari menunggu, yang hadir justru banyak pertanyaan, salah satunya adalah mungkinkah aku melakukan riset yang objektif? Mengingat bahwa piring plastik sebagai alas yang aku gunakan harusnya sudah tercemar sesuatu yang bahkan belum aku ketahui. Sejak saat itu aku berpikir bahwa pasti ada ketidakpastian di sana.

Semakin aku menyapa berbagai pertanyaan yang ada di kepalaku, maka aku merasa bahwa aku ini benar-benar ada. Sebabnya percaya atau tidak, aku beberapa kali mengalami kerancuan antara membedakan mana kenyataan yang sesungguhnya dan mana yang merupakan alam mimpi. Hanya dengan menggauli pertanyaan dan berusaha memikirkannya baru aku dapat meloloskan diri dari kerancuan semacam itu. Adalah sebuah fakta bahwa aku yang berpikir sedang mengafirmasi kesadaranku, yang itu berarti kehadiranku di dunia ini. Sementara itu, aku juga selalu bertanya-tanya, apakah teman-temanku, orang tuaku, saudaraku dan kalian semuanya pernah berpikir dan mempertanyakan hal mendasar yang sama denganku?

Seluruh ceritaku di atas terjadi pada saat aku duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Dasar (SD). Sebetulnya ada lebih banyak cerita dan pertanyaan dari masa kecilku yang ingin kubagikan, tapi karena adanya keterbatasan, aku pikir cerita ini saja sudah lebih dari cukup. Yang jelas, pada saat itu aku tentu belum akrab dengan nama-nama filsuf besar seperti saat ini, tapi aku menyadari bahwa apa yang aku pikirkan juga turut dipikirkan oleh filsuf-filsuf besar. Berbagai tema filsafat nyatanya telah merecokiku sejak kecil, mulai dari problem determinasi, ontologi, epistemologi, hingga perkara kesadaran. Aku sendiri tidak tahu banyak tentang bagaimana aku kemudian setelahnya bisa masuk jurusan filsafat. Namun, pada tulisan ini aku ingin mendefinisikan apa arti filsafat bagiku, yakni filsafat adalah nostalgia terhadap masa kecil. Itu saja, sederhana dan  cukup.

You Might Also Like

0 komentar

Gallery