Bila Ibrahim Tiba Hari Ini

9/12/2016


Iman kerap dipahami sebagai modus penerimaan secara sukarela terhadap suatu sistem kepercayaan yang dianggap benar. Dalam hal ini iman jauh melampaui segala doktrin filosofis mengenai rasionalisme maupun empirisme. Terkait pertanyaan bagaimana kita mengetahui dan menyingkap kebenaran, rasionalisme akan selalu mempostulasikan akal sebagai hakim tertinggi, sementara itu empirisme menyibukan dirinya dengan pengalaman indrawi, di sini iman justru sedang memproduksi kebenaran yang diperoleh dari mekanisme perwahyuan. Betapapun absurdnya cara memperoleh dan isi dari wahyu itu sendiri, tugas pokok iman hanyalah meyakini kebenarannya tanpa ada keraguan. Hal ini sebagaimana yang berkali-kali ditegaskan oleh Tertuallianus bahwa Credo quia absurdum est (saya percaya karena absurd).

Pada periode Yunani kuno, kehadiran iman diterjemahkan dalam kepercayaan terhadap dunia transendental tempat para Dewa bernaung. Keniscayaan dunia transendental sebagai suatu totalitas menyiratkan bahwa kebebasan bersifat hibris. Di situ bangsa Yunani secara fatalis menerima determinasi kosmik serta mengamini perintah para Dewa. Determinasi menjadi semacam malapetaka ironis yang dirayakan secara menyeluruh. Manusia hanya boleh menjalani takdirnya, sementara kesangsian akal terhadap iman dianggap sebagai suatu pemberontakan terkutuk. Di situlah sejarah kemudian mencatat bahwa pemberontakan itu sendiri akhirnya tiba melalui pertanyaan-pertanyaan radikal yang dipelopori oleh para filsuf pra-sokratik. Proyek pencarian hakikat dari penyebab terciptanya alam semesta ini yang dimulai dari Thales, Heraclitos, Pythagoras, dan sederet filsuf pra-sokratik lainnya telah menyangkal penjelasan mitologis dan sebagai gantinya menyodorkan penjelasan naturalistik.

Ratusan tahun kemudian, semangat yang pernah dibangun oleh filsafat Yunani mengenai penyangkalan mitos dan pendistribusian logos memberikan inspirasi bagi masyarakat Eropa untuk melepaskan diri dari cengkraman pemikiran abad pertengahan. Dalam abad pertengahan itu sendiri otonomi manusia berada pada kekuasaan gereja yang mengatasnamakan Tuhan. Untuk itu, selanjutnya apa yang berbau teosentris dari abad pertengahan perlahan digeser ke tatanan humanitas, segala energi dikerahkan untuk memperjuangkan liberalisasi universalitas, otonomi manusia menjadi semakin mantap, hingga kemudian manusia berhasil menemukan sebuah tatanan yang benar-benar baru, modernitas. Di situ rasionalisme yang digaungkan oleh keraguan metodik Cartesian dan empirisme Humean saling berkelindan hingga berdampak pada berbagai penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada akhirnya berdampak pada munculnya eksplorasi ke berbagai belahan dunia yang diiringi oleh kolonialisme, imperialisme, sekularisme dan penetrasi kapitalisme. Paradigma yang tercipta kemudian adalah antroposentrstik, doktrin sofisme dari Protagoras bahwa manusia tidak lain adalah ukuran bagi segala-galanya diproklamirkan kembali. 

Kierkegaard dan Penyelamatan Iman
Sejak modernitas menggerayangi setiap sudut Eropa, dimensi batiniah kini menjadi terdistorsi, terpinggirkan dan dilupakan. Rasionalitas lalu menjadi sesuatu yang sangat primer, sementara itu irasionalitas dianggap sebagai seteru yang harus dimusnahkan, pada titik itu dimensi kehendak sebagai  bagian dari irasionalitas mengidentifikasi dirinya sebagai sesuatu yang tidak dihargai sama sekali. Pada akhirnya, kemajuan adalah lenyapnya keunikan individu. Dalam sains modern manusia dinyatakan dalam rumus-rumus yang umum dan direduksi sebagai objek statistik belaka. Sementara itu dalam filsafat modern manusia hanya dianggap sebagai alas kaki dalam sebuah rezim abstraksi raksasa yang telah dibangun oleh Hegel. Di titik inilah muncul ke permukaan sosok Kierkegaard yang melihat bahwa umat manusia sedang menghadapi suatu zaman di mana penyamarataan telah terjadi. Di mana yang tersisa hanyalah massifikasi dan kolektivisme despotik yang siap memusnahkan ketunggalan manusia. Modernitas menyatakan bahwa apa yang benar adalah yang universal, bukan yang partikular, di situ Kierkegard ingin mengembalikan bahwa yang partikular itu yang justru merupakan manusia sebagai sesuatu yang subjektif dengan segala keunikannya. 

Dalam misi profetik penyelamatan keunikan manusia, Kierkegaard hendak meruntuhkan pandangan universalisme dengan cara menyuntikan konsep dasar dari teologi, yaitu iman. Hal ini dapat kita runutkan dengan menyimak bahwa pada Kierkegaard, gerak dialektis itu bukanlah mengawang-awang seperti pada Hegel, melainkan melalui kehendak dan keputusan. Dari situ Kierkegaard memberikan pandangannya bahwa kehidupan eksistensial manusia dilalui dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis, etis dan religus. Manusia yang berada dalam tahap estetis berarti tahap ketika manusia mengidentifikasi eksistensinya dengan cara hedonistik dengan meluapkan segala kebutuhan fisik belaka, sementara itu tahap etis berarti tahap ketika manusia menunda kesenangan fisik untuk menggapai kepentingan yang lebih besar, terakhir yakni tahap religus berarti tahap di mana manusia sudah melampaui dunia ini dengan menyandarkan diri dan membuat keputusan yang didasarkan kepada iman. Kierkegaard selanjutnya mengklaim bahwa tahapan tertinggi dan paling otentik yang dapat dicapai oleh manusia adalah tahap religius. 

Melalui pembabakan tahap eksistensial manusia, apa yang dilakukan oleh Kiekegard dalam proyek penyelamatan keunikan manusia sebetulnya dapat kita parafrasekan sebagai proyek penyelamatan atas iman itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih spesifik, Kiekegaard berusaha menyelamatkan doktrin transendensi mengenai dua dunia, yakni menyelamatkan sesuatu yang absolut berupa superioritas Tuhan dan sekaligus membuat distansiasi dengan keberadaan manusia. Kehendak atas kompleksitas dunia non fisik menemukan kembali fitrahnya di tangan Kierkegaard. Hal ini dapat kita baca secara seksama tatkala Kierkegaard mempredikatkan Ibrahim (Abraham) sebagai manusia otentik ketika mengafirmasi perintah Tuhan mengenai penyembelihan putranya sendiri. Oleh karena itu, otentik dalam kerangka Kierkeegard tidak lain adalah artikulasi dari keunikan manusia yang ditempatkan secara deterministik dengan iman sebagai basisnya. Dan pada kisah Ibrahim itu selanjutnya kita akan melangkah lebih jauh dalam menyelami kemungkinan iman.

Ibrahim dalam Lintasan Sejarah
Dalam kitab suci agama-agama samawi, baik itu Alquran, Alkitab maupun Taurat, disebutkan bahwa Ibrahim merupakan sosok yang memiliki iman yang kuat. Dikatakan seperti itu karena Ibrahim percaya bahwa apa yang dijanjikan oleh Tuhan akan ditepati, meskipun janji-janji tersebut terkesan tidak dapat diterima oleh akal sama sekali. Kisah heroik Ibrahim dalam menaati perintah Tuhan untuk menghancurkan berbagai berhala yang disembah oleh masyarakat saat itu membuktikan bahwa betapa kuatnya iman Ibrahim. Selanjutnya, Tuhan berbicara kepada Ibrahim bahwa kelak Ibrahim akan menjadi bapak bagi sebuah bangsa yang besar, padahal saat itu istri Ibrahim, yakni Sarah sedang masuk dalam masa monopause, sehingga hampir mustahil untuk memiliki anak. Meskipun demikian, Tuhan benar-benar menepati janjinya, Ibrahim memiliki seorang putra yang kemudian dinamakan Ismail. Dan di sini perlu dicatat bahwa pada problem yang mendera teologi, terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa anak Ibrahim yang dijanjikan oleh Tuhan dan dari istri Ibrahim yang mana yang melahirkan anak tersebut. Alkitab dan Taurat mencatat bahwa Ishaq adalah putra dari Ibrahim yang dilahirkan dari rahim Sarah, namun Alquran justru memandang bahwa anak yang dijanjikan adalah Ismail yang lahir dari rahim Siti Hajar, istri kedua Ibrahim. Meskipun seperti itu, perbedaan tafsir terhadap siapa anak Ibrahim yang dilahirkan itu bukanlah persoalan yang serius dalam tulisan ini, sebabnya yang terpenting adalah tentang apa yang akan dilakukan Ibrahim terhadap anaknya. 

Dikisahkan bahwa pada suatu waktu, Tuhan berbicara kepada Ibrahim sebanyak tiga kali melalui mimpi untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail. Kala itu Ismail sendiri telah berusia remaja. Sebagai seorang Ayah, Ibrahim mengalami konflik batin yang luar biasa, harus melaksanakan perintah tersebut atau menyangkalnya sama sekali. Bagaimanapun juga Ibrahim adalah sosok seorang Ayah yang sangat mencintai putranya, terlebih putranya itu telah dinanti-nanti oleh Ibrahim selama puluhan tahun. Sebagai catatan, pada masa Ibrahim perngurbanan manusia itu dapat dikatakan bukan hal yang istimewa, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang lazim dalam paganisme. Sejarawan Karen Armstrong menulis bahwa anak pertama kerap diyakini sebagai keturunan Dewa., sebagai akibatnya anak pertama itu harus dikembalikan kepada Dewa melalui proses perngurbanan. Hal itu sebagai kompensasi atas energi Dewa yang menipis dan lenyap ketika menghamili si ibu manusia.

Kembali pada dilema moral Ibrahim. Pada akhirnya Ibrahim memutuskan untuk mengajak Ismail ke lembah daerah di Mina sekaligus membicarakan perintah Tuhan tersebut, tanpa berpikir panjang, Ismail mengatakan kepada ayahnya bahwa ia menerima apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Sejarah kemudian menunjukan bahwa menyikapi perintah itu, permintaan Ismail hanya berupa empat hal; pertama, Ismail meminta agar ayahnya mengikatnya kuat-kuat supaya dirinya tidak bergerak; kedua, Ismail meminta agar pakaiannya ditanggalkan terlebih dahulu agar tidak ada bercak darah yang menempel; ketiga, Ismail meminta agar ayahnya menajamkan pedang yang dipakai untuk menyembelihnya; keempat, Ismail meminta agar setelah prosesi penyembelihan selesai, ayahnya agar dapat membawa pakaian yang dikenakan oleh Ismail kepada ibunya. 

Narasi yang berkembang, dalam perjalanan ke lembah di daerah Mina tersebut, iblis berusaha sekuat tenaga menggoda Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar untuk membatalkan prosesi penyembelihan tersebut. Argumentasi yang diberikan iblis adalah mengenai betapa keliru dan jahatnya bila seorang ayah tega membunuh anak kandungnya sendiri. Iblis memainkan wacana tentang universalitas humanisme yang pada akhirnya ditolak mentah-mentah oleh Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar itu sendiri. Keluarga Ibrahim tetap teguh pada keimanannya dan merasa bahwa penyembelihan yang akan dilakukan itu benar adanya tanpa ada keraguan sedikitpun. Cerita lalu diakhiri dengan batalnya penyembelihan Ismail akibat Tuhan yang berkehendak lain. Tuhan menyatakan bahwa Ibrahim telah lulus ujian dan secara serentak Tuhan mengganti penyembelihan Ismail dengan domba yang sangat besar.  

Merenungi Ibrahim Saat Ini
Saat ini, kisah Ibrahim yang menyembelih putranya tertata secara rapih dalam kitab suci yang berada di lemari dan ponsel pintar manusia modern. Kisah itu tetap dipelihara,  diceritakan ulang, bahkan dirayakan secara repetitif oleh umat muslim pada hari Idul Adha yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijah. Di saat ini pula terdapat tradisi berupa penyembelihan hewan ternak berupa kambing, domba, sapi, hingga unta yang sebelumnya diilhami oleh upaya penyembelihan Ismail. Berkurban lalu menjadi suatu keharusan bagi mereka yang mampu secara finansial, semangat berbagi daging menjadi diktum umum agar mereka yang tidak mampu dapat mencicipi daging setiap tahunnya. Tidak hanya itu, berkurban saat ini kian dipahami sebagai momen isi ulang ingatan agar manusia senantiasa berbuat baik dan terus berbagi kebahagiaan terhadap sesama.

Problemnya, betapapun ada benang merah antara apa yang terjadi di masa lalu dengan masa kini, namun apa yang dirasakan oleh manusia saat ini begitu berbeda dengan yang dirasakan Ibrahim saat itu. Ibrahim memiliki iman yang sifatnya hakiki dan mampu mendialogkan imannya itu secara langsung dengan Tuhan. Iman Ibrahim adalah iman tanpa keraguan yang diawali oleh keraguan. Ibrahim menikmati iman sebagai pengalaman personal yang membuatnya bergetar ngeri, cemas, sungkan, namun begitu takjub dan terpana padanya--mysterium tramendum et fascinans. Dalam arti itu iman telah memainkan kegiatan sentral atas kehendak, di saat sisi irasionalitas Ibrahim bertindak sejauh menunjukan superioritasnya di hadapan rasionalitas maka di situlah iman mencapai puncaknya. Hal seperti itu yang sulit dimiliki bila tidak dikatakan tidak mungkin bagi manusia saat ini. Mengingat bahwa mayoritas di antara kita menemukan iman sebagai suatu tradisi yang telah mendarah dan mendaging. Keimanan kita terhadap Tuhan diakumulasi oleh tradisi dan juga keimanan kita terhadap pemahaman atas kisah berimannya nabi dan rasul. Kita lalu mengimani teks-teks suci yang telah diwahyukan tanpa pernah mengalami situasi dilematis seperti kisah pada teks-teks suci tersebut. Konsekuensinya, kita boleh jadi tidak pernah beriman secara penuh akibat tidak pernah bahkan tidak mau disituasikan pada medan laga pertempuran iman dan akal. Bahkan kita tidak pernah mencapai taraf keraguan karena kita tidak pernah memikirkannya sama sekali. 

Pertanyaanya kemudian, apa jadinya bila kita berandai-andai bahwa ada sosok seperti Ibrahim tiba saat ini? Di saat kita kini telah tenggelam dalam kemajuan yang luar biasa dalam bidang pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Institusi sosial politik juga tidak lagi sesederhana dahulu, kita menghadapi berbagai aparatus negara dan global yang begitu cepat berevolusi. Terjadi proliferasi institusi sosial politik dengan segala keragaman fungsi yang luar biasa. Pengawasan kini terjadi di mana-mana, betapapun kita lari menjauh maka itu adalah kesia-siaan. Ilmu pengetahuan sendiri berhasil mengajarkan kita untuk menundukan alam, sementara teknologi terus berupaya menciptakan detemporalisasi dan delokalisasi yang semakin efisien. Dan yang paling terpenting dari semuanya adalah hak asasi manusia menjadi postulat bagi seluruh umat manusia di dunia ini. 

Untuk itu, jika saat ini ada orang seperti Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya sendiri, maka pastilah ia dianggap sesat dan dituduh melakukan tindak kriminal atas pasal percobaan pembunuhan berencana. Di saat HAM yang menjunjung tinggi cita rasa kemanusiaan universal, maka di situ pula tindakan absurd itu diadili bahkan sebelum tindakan itu dilakukan sema sekali. Cukup banyak kasus nyata dewasa ini yang polanya seperti tindakan irasionalitas Ibrahim, seperti halnya pada Dedi Mulyana alias Eyang Ended asal Banten yang mengku bahwa mendapat wahyu untuk berhubungan intim secara ilegal dengan 30 perempuan sebagai ritual keagamaan, lalu ada Abdul Muhjib yang mengaku dapat memberikan surga bila pengikutnya membayar 2 juta rupiah, ada pula Kasdah yang membantai keluarganya sendiri karena mengaku mendapatkan bisikan gaib. Hasilnya seluruh klaim irasionalitas semacam itu harus dibayar dengan kurungan penjara. 

Dari skema seperti itu, tidak akan terlalu mengajutkan bila selanjutnya media akan menulis judul “Sadis! Seorang Ayah Berusaha Menyembelih Anaknya Sendiri”, dan kemudian berita itu menyebar begitu cepatnya, menjadi cibiran banyak orang. Masyarakat tidak akan peduli terhadap pembelaan teologis yang dilakukan oleh sang ayah, dari pada itu masyarakat justu akan mencemooh bahwa sebetulnya perintah penyembelihan itu datang dari iblis bukan dari Tuhan. Wacana universalitas humanisme kemudian memainkan perannya melalui penyelidikan rasional dan empiris dalam menguji keabsahan pengakuan ‘gila’ sang ayah. Untuk itu, bila dahulu argumentasi iblis mengenai universalitas humanisme dianggap sebagai sekadar bujuk rayu yang salah, maka saat ini sesuatu yang salah itu yang dianggap sebagai yang benar secara paripurna oleh manusia.  

Lebih jauh lagi, pada tatanan yang bersifat global, iman yang diartikulasikan dengan bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya tidak akan mendapat tempat sama sekali dalam aktifitas manusia modern atau setidak-tidaknya tidak dibenarkan dalam interpretasi islam moderat. Hal ini membawa kita pada satu hal, bahwa sebetulnya yang terjadi adalah ketidakmampuan manusia saat ini dalam mengenakan iman seradikal Ibrahim akibat adanya rasio. Konsekuensi terjauhnya adalah bahwa kita saat ini sedang berada dalam sebuah cakrawala di mana sejarah kenabian masa lampau menjadi inspirasi yang ambivalen, di satu sisi ia bersifat sakral, tapi di sisi lainnya kita tidak pernah peduli terhadap kesakralannya. Jurang sejarah antara kita dan Ibrahim menyebabkan kita mampu mempercayainya, sebaliknya ketiadaan jurang itu hanya akan menciptakan ketidakpercayaan terhadapnya. Selebihnya, segala kisah irasionalitas para nabi dapat kita lihat secara positif dan terima secara terbuka, namun kita tidak akan percaya dan marah bila irasionalitas itu dihadirkan kembali secara langsung dihadapan kita saat ini. 

Oleh karena itu, disadari atau tidak, kita selalu mencari pembenaran irasional terhadap sesuatu yang sudah terlanjur diyakini. Seperti pada pengurbanan hewan yang dilakukan kini tidak lagi dipahami untuk Tuhan, melainkan hanya keikhlasan kita dalam berkurban yang dilihat oleh Tuhan. Dalam skema ini, berkurban berarti bukanlah sesuatu yang lagi irasional,  melainkan tindakan yang sangat rasional, di mana roda perekonomian berputar, semua orang dapat menikmati berkah dari peristiwa ini. Terlebih dengan adanya penterasi teknologi, kita dapat berkurban secara digital. Perangkat ponsel pintar mensituasikan kita dalam kecepatan akses yang luar biasa, hanya dengan beberapa sentuhan di layar kita sudah dapat berkurban secara online. Dalam arti ini irasionalitas telah dirasionalisasikan. 

   
Penutup
Pada akhirnya, apa yang mau dinyatakan dalam tulisan ini adalah bahwa betapapun superioritasnya manusia dalam eksplorasinya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, keberadaan iman akan senantiasa lestari. Meskipun begitu, apa yang dibayangkan Kierkegaard mengenai penyelamatan keunikan manusia melalui iman menjadi tampak mustahil bila itu benar-benar dilakukan saat ini. Kecuali fakta bahwa tahap religus yang radikal itu dapat ditempuh dengan cara melawan universalitas humanisme, yang itu berarti pilihannya menjadi seorang teroris yang mengobarkan perang atas klaim pembelaan terhadap iman. Hanya dengan itu mysterium tramendum et fascinans dapat dihayati. Itu lalu menjadi alasan akan mengapa para pelaku teror yang mengatasnamakan agama dapat tersenyum bahkan tertawa ketika divonis mati atas perbuatannya. 

Selebihnya, membayangkan Ibrahim dan imannya ada saat ini berarti membayangkan pengucilan yang akan diterimanya. Saat ini kita memang dapat percaya terhadap eksistensi Tuhan, keberadaan malaikat, mukzizat para nabi, kebenaran kitab suci, datangnya hari kiamat hingga percaya pada takdir baik dan takdir buruk. Tapi, keimanan kita terhadap itu semua harus diakui diasuransikan pada masa lampau. Dan kita mungkin tidak dapat melampaui diri dari itu. Untuk itu diktum yang tepat untuk menggambarkan manusia saat ini adalah bukan “saya percaya karena absurd”, melainkan lebih tepat bila “saya percaya karena masa lampau yang mengatakannya”.

Terakhir, irasionalitas masa lampau diupayakan untuk terus dirasionalisasi, kita tidak dapat menolaknya, namun percaya atau tidak apa yang dirasionalisasi tersebut sebetulnya telah menghilangkan sesuatu yang sebelumnya melekat pada irasionalitas dan sekaligus mendatangkan sesuatu yang lain. Lalu pertanyaanya apa itu yang hilang dan datang? Apakah itu sesuatu yang baik atau buruk? Jawabannya bebas menurut iman dari pembaca sekalian.

You Might Also Like

0 komentar

Gallery