Definisi dan Kesalahpahaman
1/15/2017Kita kerap membuka sebuah kamus hanya untuk mencari definisi dari sebuah kata yang belum diketahui. Sebagai contoh, jika kita menjumpai sebuah kata ‘biduk’ dalam sebuah tulisan, dan pada saat yang bersamaan kita sama sekali tidak tahu definisi dari kata tersebut, maka membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan cara yang tepat untuk melenyapkan ketidaktahuan itu.
Melalui sebuah kamus, kita akhirnya mengetahui bahwa ‘biduk’ didefinisikan sebagai perahu kecil yang dipakai untuk menangkap ikan atau mengangkat barang-barang di sungai. Definisi itu sangat jernih, kita dapat memahaminya secara bersama tanpa ada perselisihan.
Seturut dengan definisi ‘biduk’ tersebut, kita selanjutnya dapat mencerna kata tersebut dalam konstalasi teks yang sedang kita baca. Sebuah makna teks yang pada mulanya masih gelap kini menjadi lebih terang ketika kita mengetahui definisi dari satu kata tersebut. Selebihnya, tentu kita tidak saja hanya dapat mencernanya, melainkan juga dapat memperalat kata tersebut pada tulisan lain yang mungkin akan kita buat.
Sampai di sini, sebuah kamus sebetulnya sedang mengandaikan universalitas. Dalam artian bahwa sebuah kamus mengklaim bahwa kenyataan yang mahakompleks ini dapat dipahami secara objektif apabila terdapat kesepakatan definisi pada setiap kata. Ada keselarasan layaknya cermin antara kenyataan di luar sana dengan apa yang dinamakan sebagai kata.
Kata-kata lalu digunakan sebagai alat bertukar informasi yang sah. Kesuksesan sebuah transasksi informasi dijaminkan pada keseragaman definisi. Dunia bergerak pada cara pikir seperti ini. Definisi memainkan peran sentral dalam menciptakan keteraturan dan kebenarpahaman di dunia ini.
Problemnya, jika definisi memang mampu memainkan peran sentral dalam menciptakan keteraturan dan kebenarpahaman, maka negasinya, yaitu ketidakteraturan dan kesalahpahaman, tidak lain merupakan kegagalan kita dalam menciptakan definisi yang paripurna. Banyaknya konflik yang belum terselesaikan hingga sekarang merupakan akibat dari hal itu. Sebuah konflik, apapun bentuknya, merupakan kegagalan dari masing-masing kita untuk mendefinisikan suatu hal secara bersama.
Dalam hubungan asmara, kegagalan mendefinifikan ini biasanya mewujud dalam kegagalam mendefinisikan apa itu apa itu cinta dan apa itu cemburu. Satu kenyataan yang sama dapat didefinisikan oleh dua orang yang saling menjalin asmara itu secara berbeda. Memaksakan definisi itulah yang menyebabkan retaknya suatu hubungan. Putus cinta hasil terburuknnya.
Di negara ini, maraknya kasus mengenai penistaan agama sesungguhnya juga berada dalam koridor ketidakmampuan kita dalam perkara mendifiniskan. Yang satu menganggap bahwa apa yang telah dilakukan bukan merupakan sebuah penistaan, sementara satu lainnya menganggap bahwa itu merupakan penistaan. Jelas ini merupakan sebuah problem yang sangat rumit.
Pada lingkup internasional, di Palestina, alasan paling logis dari perang yang berkepanjangan adalah adanya perbedaan definisi dari masing-masing pihak dalam menjelaskan kedaulatan dan batas wilayah. Sementara itu, pemberontakan yang dilakukan oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) terjadi karena mereka mendifinisikan islam secara tekstual, menyatakaan demokrasi sebagai sistem kafir yang harus dienyahkan, tentu ini berbeda dengan definisi yang dipegang oleh banyak orang.
Dari sini, ada banyak hal di sekitar kita yang kerap tercecer definisinya. Mulai dari hal yang sangat remeh hingga hal yang paling kompleks. Kamus memang dapat memberikan satu definisi tunggal terhadap sebuah kenyataan. Namun ada lebih banyak hal yang tidak dapat dijelaskan di dalamnya. Kenyataan bergerak bebas tanpa pernah dapat dipadatkan menjadi kamus semata.
Lalu bagaimana memecahkan persoalan ini? Buat saya, menjadikan sebuah definisi sebagai definisi tunggal terhadap suatu hal berarti melenyapkan ragam definisi yang lain. Pelenyapan itu yang akan dicatat oleh sejarah sebagai sebuah kemenangan dari pihak yang telah berkuasa penuh atasnya. Sialnya, kemenangan ini bahkan kerap ditempuh melalui pertumpahan darah. Perlu biaya yang besar untuk itu.
Pendek kata, kalaupun di sana ada konsensus terhadap sebuah definisi, sesungguhnya itu berdiri di atas definisi yang sebelumnya telah dikalahkan. Apa yang selanjutnya dianggap sebagai keteraturan dan kebenarpahaman tidak lebih sebagai pemaksaan dari tercecernya berbagai ketidakteraturan dan kesalahpahaman. Untuk itu, isi dari dunia ini sesunggunya adalah hasil sementara dari pertempuran antardefinisi yang tidak akan pernah berkesudahan, bahkan untuk selamanya.
0 komentar