Hukum dan Pemaafan
12/26/2016Kali ini aku punya kegelisahan yang cukup serius untuk kubagikan dalam tulisan ini. Kegelisahanku itu bermula dari sebuah hal yang cukup lazim di era kita saat ini. Era di mana peristiwa lapor-melaporkan orang lain atas nama hukum menjadi sebuah kelaziman di setiap harinya. Aku sendiri sepakat bahwa tidak ada yang salah dengan itu, bagaimanapun aku menyadari bahwa demokrasi berarti kesetaraan di hadapan hukum, yang itu berarti semua orang berhak melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib sesuai koridor yang berlaku. Hukum hanyalah masalah konsensus. Kita telah sepakat atas adanya kesetaraan dan kebebasan dalam melaporkan seseorang.
Problemnya, hal yang membuatku resah justru ketika pelapor (pihak yang melaporkan) mengklaim bahwa dirinya telah memaafkan terlapor (pihak yang dilaporkan). Momen-momen pemaafan ini akan selalu ada. Kita kerap menyaksikan peristiwa pemaafan ini di media massa. Dan biasanya, ucapan pemaafan tesebut diiringi oleh suatu pernyataan klise dari pihak pelapor, “Kami memang memaafkannya, tetapi proses hukum harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.” Bagiku pernyataan seperti itu adalah bagian yang sangat absurd. Aku mengibaratkan pemaafan seperti ini layaknya mencoba mengimajinasikan sebuah lingkaran yang memiliki tiga sisi. Saling kontradiktif dan tidak akan pernah kompatibel sama sekali. Jadi, bagaimana mungkin kita memaafkan seseorang tetapi masih berharap agar seseorang tersebut dihukum?
Baiklah, aku ingin memberikan sebuah analogi yang sederhana. Di sini aku andaikan bahwa kita semua percaya bahwa hari akhir akan tiba dan Allah akan memroses serta mengadili seluruh amal baik dan amal buruk yang kita miliki. Selebihnya, kita percaya bahwa Allah Mahaadil dalam memutuskan setiap perkara. Allah juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang akan senantiasa menerima taubat yang tulus dari setiap hamba yang percaya terhadap-Nya. Untuk itu, aku sangat yakin bila memang seorang hamba bersungguh-sungguh dalam bertaubat, maka Allah akan memaafkan kesalahan dari apa yang telah diperbuat oleh hamba tersebut. Allah tidak akan pernah memaafkan kesalahan hambanya secara setengah-setengah. Allah tentunya juga tidak akan berkata, “kamu sudah kumaafkan, tetapi proses hukuman akan terus berlangsung dan kamu akan dijebloskan ke neraka.”
Apa yang Allah lakukan dalam memaafkan hambanya itu yang berulang kali ditegaskan dalam kitab suci. Allah juga begitu mencintai hambanya yang dapat memberikan sebuah pemaafan yang tulus kepada orang lain tanpa pamrih sediktpun. Dalam arti ini, pemberian maaf bukan lagi terjebak pada tatanan seremonial belaka, melainkan sudah menyentuh palung hati terdalam dari subjek yang memaafkan. Ada ketulusan yang melampaui segala tindak perkara pembalasan dendam bahkan pemberian hukuman. Pada tingkatan ini, kita tidak akan lagi mendengar pemberian maaf yang dibarengi dengan mengamini proses hukum yang berjalan. Sebab, bila memang tetap mengamini hal tersebut, itu berarti masih menyisakan ruang untuk menyaksikan orang yang kita maafkan untuk sakit. Jelas masih ada dendam di sana.
Sebagai penutup, aku bersikukuh bahwa kita_harus berani memulai suatu pemberian maaf yang tulus. Tujuannya agar tercipta suatu kelaziman yang lebih baik di tingkat yang lebih luas. Namun ini bukan berarti aku menginginkan suatu tatanan masyarakat yang hanya bisa diselesaikan dengan kalimat maaf dan tanpa hukum sama sekali. Aku justru masih menyisakan ruang untuk hukum. Bagiku, hukum hanya dapat dijalankan secara fair tanpa perlu adanya pemberian maaf. Hukum berada di sana. Ia berada di wilayah paling gelap yang kita andaikan dapat memberikan restitusi atas apa yang dilakukan orang tersebut terhadap diri kita.
0 komentar