Sartre : Eksistensialisme adalah Humanisme

8/10/2013



          Secara umum eksistensialime adalah suatu paham yang titik tolaknya didasari bahwa eksistensi mendahului esensi sehingga kebebasan manusia adalah suatu totalitas. Namun dari titik tolak inilah maka terdapat banyak sekali tuduhan serta serangan terhadap pemikiran eksistensialisme tersebut. Setidaknya tuduhan  yang ditujukan kepada eksistensialisme adalah bahwa eksisetensialime adalah nama lain dari pesimisme (quietisme) bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan hanya sisi gelap dan jahat darinya. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourjuis, selain itu subjektifitas murni yang ada di dalam dasar paham eksistensialimepun di nilai oleh kaum komunis tidak tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang solidaritas.Bahkan dari kaum katolikpun eksistensialime dituduh menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai yang abadi. Oleh karenanya eksistensialisme itu dianggap voluntary, yaitu bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya menurut apa yang ia sukai.[1]
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah tepatkahtuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada paham eksistensialime tersebut? Maka darituduhan dan pertanyaan inilah memicu seorang filsuf eksistensialis Jean Paul Sarte untuk melakukan interpretasi ulang terhadap pengertian dasar eksistensialime itu kembali dengan menyatakan bahwa eksistensialisme sebagai suatu ajaranlah yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin, Selain itu, bagi sartre eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia.
Berbicara mengenai subjektivitas manusia maka bagi Sartre bukanlah subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada batu atau meja[2]. Sehingga manusia pertama-tama eksis dan bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia
Hal ini disebabkan karena Sartre dalam pemikirannya terlebih dahulu mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity)[3]. Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.
          Sebelumnya sudah disinggung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih luhur daripada benda-benda. Oleh karena itu saya beranggapan bahwa yang menjadi pusat perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Sedangkan ketika berbicara mengenai humanisme maka bagi Sartre, yang membedakan humanismenya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya.  Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.”[4] Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is”[5].Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings[6]. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.
          Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian humanisme yang dijelaskan Sartre adalah bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia[7]. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah bagi saya Sartre sangat berani untuk mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindaksecara konkret dalam dunia keseharian yang nyata, dan pada akhirnya saya akan mengatakan bahwa Sartre adalah benar-benar seorang filsuf eksistensialis yang sangat konsekuen dengan posisinya sebagai seorang yang atheis.




Sumber bacaan :

  Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre.Meridian Books Original Edition. 1956.




[1]  Kaufmann, Walter. Existentialism from Dostoevsky to Sartre.Meridian Books Original Edition. 1956. Hal.288
[2] Ibid.hal. 291
[3] Ibid.hal. 291
[4] Ibid.hal.294
[5] Ibid.hal.300
[6] Ibid.hal.301
[7] Ibid.Hal.310

You Might Also Like

3 komentar

  1. kak..tulisannya berat2 semua sih :3 hhaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha
      Seringkali studi yg kita sedang pelajari itu akan "meracuni" otak kita sendiri. Ya jadi gini deh. . ehehe :D

      Delete

Gallery